Assalamu'alaikum!! Selamat Datang di Situs Ahlussunnah Makassar www.almakassari.org

THIS-IS-FEATURED-POST-1-TITLE

FEATURED-POST-1-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-2-TITLE

FEATURED-POST-2-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-3-TITLE

FEATURED-POST-3-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-4-TITLE

FEATURED-POST-4-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-5-TITLE

FEATURED-POST-5-DESCRIPTION

Senin, 30 Mei 2011

Universitas NU di Makassar Dipimpin Rektor Perempuan

Posted On 03.58 0 komentar

Universitas NU di Makassar Dipimpin Rektor Perempuan Makassar, NU Online


Dr Ir Hj Majdah Muhyiddin Zein akhirnya terpilih sebagai rektor Universitas Islam Makassar (UIM). Pemegang kuasa Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi Al-Gazali Makassar yang menaungi universitas ini, HM Aksa Mahmud resmi melantik rektor terpilih, Ahad (27/5) siang kemarin.

Pelantikan berlangsung hikmat di kampus milik Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel ini. Turut hadir, Koordinator Kopertis Wilayah IX, Prof Dr Aminuddin Salle, SH MH, Mustasyara PBNU yang juga sesepuh NU Sul-Sel KH M Sanusi Baco, Lc, Ketua Tanfidziyah NU Sul-Sel KH M Zain Irwanto, Ketua Tanfidziyah NU Kota Makassar Dr H Abd Kadir Ahmad, MS dan civitas akademika UIM.
Demikian dikutip dari harian Fajar Makassar, Senin (28/5). Acara pelantikan diawali dengan pembacaan surat keputusan ketua yayasan. Setelahnya, dilanjutkan pernyataan dari rektor terpilih soal kesiapannya untuk mengembangkan UIM ke arah yang lebih baik. "Saya juga siap berpaya terus menambah jumlah mahasiswa UIM dari tahun ke tahun," katanya.
Majdah juga berjanji tidak menggunakan jabatan untuk kepentingan politik. Hal ini diungkapkan atas kapasitas sebagai Istri ketua DPRD Sul-Sel Ir H Agus Airifin Nu'man yang juga calon wakil Gubernur Sul-Sel mendampingi H.Syahrul Yasin Limpo.
Sementara itu, Aksa Mahmud dalam sambutannya mengatakan, kampus UIM mencatat sejarah baru. Itu karena untuk pertama kalinya, kampus ini memiliki rektor perempuan. Hal itu menurut Aksa, tentu menjadi kebanggaan tersendiri.
"Saya juga memandang pelantikan ini begitu istimewa. Sebab, sebelum dzuhur, saya melantik suaminya sebagai ketua Makassar Golg Club," ungkap Aksa.
Menurut Aksa, sangat jarang terjadi ada sepasang suami istri yang dilantik dalam sehari pada jabatan berbeda. Lebih istimewa lagi tambahnya, karena sepasang suami istri ini dilantik oleh orang yang sama.
Aksa berharap, hal itu bisa menjadi spirit untuk berbuat lebih baik. Sebab saat ini, masa depan UIM akan sangat ditentukan oleh kinerja dari rektornya.(bade)


Selasa, 17 Mei 2011

Habib Reza bin Muchsin Al-Hamid

Posted On 02.09 0 komentar


Beliau adalah HABIB REZA BIN MUCHSIN AL-HAMID, Pembina majelis dzikir dan shalawat Darul Ilmi WadDa'wah AHBABUL MUSTHOFA Makassar. Beliau sekarang ini menetap di kota Makassar Sulawesi Selatan setelah sebelumnya tinggal di Tegal, Jawa Tengah.

Berikut petikan komentar Habib Reza Al-Hamid:
"alhamdulillah allah swt memberikan karunia & anugerahnya kpd kami dg mempertemukakan kami dg hamba2nya yg mulia untuk menimba & mengambil ilmu dr mereka diantaranya : murobbi ruhi sayyidil habib umar bin muhammad bin hafidz,murobbi ruhi sayyidil habib hasan bin ahmad baharun,murobbi ruhi sayyidil habib zain bin hasan baharun,murobbi ruhi sayyidil habib hamid annaqib bin muhammad bsa. & banyak jg kami dapatkan ilmu/ijazah/pendidikan/pelajaran tabarruk dr habaib & masyayekh tarim diantara mereka : sultonul ulama alhabib salim bin abdullah assyatiri,qolbu tarim alhabib abdullah bin muhammad bin syahab,mufti iynat alhabib abubakar alhaddar, & masih bnyk lg dr pembesar2 ulama hadromaut.inilah karunia & anugerah allah swt yg diberikan kpd kami dan kami bersyukur sebesar2nya syukur dg semua itu. ROBBI FANFA'NAA BIBARKATIHIM, WAHDINAL HUSNA BIHURMATIHIM, WA AMITNAA FI THORIQOTIHIM, WAMU'AFATIN MINAL FITANI."


<molufir@almakassari>


Senin, 16 Mei 2011

Makam Pangeran Diponegoro

Posted On 06.54 0 komentar

http://photos.travelblog.org/Photos/1161/532378/f/5462848-Makam_Pangeran_Diponegoro-_Makassar-0.jpg


http://nengpuspa.files.wordpress.com/2009/09/makam_pangeran_diponegoro.jpg



Sekilas Pangeran Diponegoro


Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional yang berjasa banyak dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.


Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. 

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830 dan ditahan di Fort Rotterdam Makassar yang ruang tahanannya masih bisa kita lihat sampai sekarang. 

Pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan diMakamkan di Jl. Kampung Jawa yang sekarang telah diubah menjadi Jl. Pangeran Diponegoro Makassar yang keberadaanya sepertinya sudah tidak dihiraukan lagi oleh masyarakat. padahal jasa dari beliau begitu besar terhadap bangsa ini dan sudah sepantasnyalah tempat bersejarah semacam ini di kelola dan dilindungi dengan baik. 


Makam Pangeran Diponegoro

PANGERAN Diponegoro adalah pahlawan nasional berasal dari Jawa Tengah. Namun bumi Jawa sendiri tidak "memiliki" tubuhnya. Karena tubuh orang yang telah mengobarkan Perang Jawa itu dimakamkan di Kota Makassar. 

Kompleks makam Pangeran Diponegoro merupakan bangunan sederhana. Terdiri dari pintu gerbang, pendopo, dan 66 bangunan makam. Diklasifikasi menjadi dua makam ukuran besar, 25 makam ukuran sedang, dan 39 makam ukuran kecil. Makam-makam tersebut adalah makam Diponegoro dan istrinya, 6 orang anaknya, 30 orang cucu, 19 orang cicit, dan 9 orang pengikutnya.

Makam Pangeran Diponegoro dan istri adalah bangunan terbesar. Menggunakan bahan batu bata, semen, dan batu hongkong. Memiliki atap dengan tiang kayu. Lokasi seputar makam ditumbuhi beberapa pohon yang membuatnya agak sejuk.

Sebelum tahun 1970, kondisi kompleks makam pahlawan nasional ini tidak sebaik sekarang. Pada tahun 1969, Kodam IV Diponegoro (Jawa Tengah) memberikan bantuan materi untuk rehabilitasi kompleks tersebut. Masyarakat setempat juga kerap memberikan bantuan. Tahun 2007 lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga memberikan bantuan untuk merenovasi kembali.

Lokasi Obyek
Makam Pangeran Diponegoro terletak di dalam Kota Makassar, tepatnya di Jl Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo. Sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi).

Akses ke Lokasi
Lokasi makam Pangeran Diponegoro dapat diakses dengan angkutan umum, taksi, atau fasilitas angkutan yang disediakan hotel.

Tarif Masuk
Untuk masuk situs ini, pengunjung tidak dikenai biaya. Hanya tersedia sebuah kotak amal yang bisa diisi dengan jumlah sukarela.

http://www.majalahversi.com/sites/default/files/tulisan/wisata_makam_diponegoro_2A.jpg

(Dari Berbagai sumber)


Masjid Raya Kota Makassar

Posted On 06.25 0 komentar

http://static.panoramio.com/photos/original/5824459.jpg


Masjid Raya Makassar diresmikan pada tanggal 25 Mei 1949. Kemudian pada tahun 1957 Presiden pertama RI, Soekarno melaksanakan sholat Jumat di masjid ini. Sedangkan pada tahun 1967, mantan Presiden Soeharto juga berkunjung dan sholat Jumat di masjid perjuangan ini. Karena itu, kehadiran masjid raya merupakan tonggak sejarah masa lalu.

Dana awal pembangunan masjid hanya Rp60.000 yang diprakarsai K H Ahmad Bone, seorang ulama asal Kabupaten Bone tahun 1947 dengan menunjuk ketua panitia KH Muchtar Lutfi, dua tahun kemudian diresmikan dengan menghabiskan biaya Rp1,2 juta.


Seorang jurnalis asing yang mengunjungi masjid tersebut menulis dalam sebuah artikelnya bahwa Masjid Raya Makassar adalah masjid terbesar di Asia Tenggara di masa itu dengan daya tampung sekitar 60.000 orang hingga ke halaman.

Lahan seluar 13.000 meter persegi tempat masjid dibangun adalah bekas lapangan sepakbola Exelsior Makassar yang dihibahkan untuk pembangunan masjid yang dimulai pada 1949, kemudian diresmikan satu tahun kemudian, 

Menurut Wapres, renovasi pertama Masjid Raya Makassar yang dibangun tahun 1949 itu, dilakukan pada tahun 1978 oleh Gubernur Ahmad Lamo. Namun, setelah 29 tahun kemudian atap masjid bocor-bocor sehingga sangat sulit dipertahankan. Karena itu, masjid ini dibangun kembali dengan struktur dan arsitektur baru mengadopsi Masjid Cordoba Spanyol, sementara bangunan lama hanya menyisahkan menara disamping kiri masjid.

Mesjid dua lantai di Jl. Bulusaraung ini menggunakan bahan bangunan sekitar 80 persen dari bahan baku lokal, memiliki dua menara setinggi 66,66 meter, daya tampung 10.000 jamaah dan fasilitas berupa perpustakaan, kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel.

Dana pembangunan masjid masing-masing bersumber dari Jusuf Kalla sebesar Rp18,5 miliar, Aksa Mahmud Rp1,5 miliar, Pemkot Makassar Rp3 miliar, Pemprov Sulsel Rp1 miliar, jamaah masjid Rp1 miliar dan Andi Sose Rp500 juta. Pada hari jumat 27 Mei 2005 bertepatan dengan 18 Rabiul Akhir 1426 H, Masjid Raya Makassar diresmikan pemakaiannya oleh Mantan Wakil Presiden RI, Drs H Muhammad Jusuf Kalla.


Pada awalnya Masjid Raya adalah sebuah lapangan yang kerap dijadikan tempat bermain bola dan tempat lahirnya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Kini, di atas tanah seluas 13.912 meter persegi itu telah berdiri masjid megah yang dilengkapi berbagai fasilitas dan dapat menampung 10 ribu jemaah.



Bangunan induk masjid ini memuat 10 ribu jemaah, jika digabung dengan halaman masjid dapat menampung hingga 50 ribu jemaah. Ketika pertama kalinya ditempati salat Jumat pada Agustus 1949, sekalipun bangunannya belum rampung namun seluruh ruangan penuh sesak hingga melimpah ke jalan umum.

Pada masa itu, pemerintah menganjurkan semua masjid di kota ini ditutup dan bersatu di Masjid Raya guna melaksanakan salat Jumat berjemaah. Kegiatan tersebut membuat tentara KNIL yang masih berkuasa di Makassar, merasa gusar dan menyesali pemberian izin membangun masjid. Sebab, Masjid Raya tidak hanya sebagai tempat ibadah saja tapi juga digunakan sebagai markas pertemuan dan kegiatan pejuang kemerdekaan.

Lalu bagaimana ihwal arsitektur Masjid Raya ini memiliki dua ruang terpisah? Hal itu bermula ketika Muhammad Soebardjo memenangkan sayembara gambar bangunan Masjid Raya Makassar. Arsitek terkemuka itu menampilkan bentuk menyerupai model pesawat terbang. Di bagian depan dengan sayap di kanan-kiri merupakan teras.

Kemudian badannya yang memanjang dari barat ke timur dengan dua badan atau jalur badan pesawat, lalu bagian timur seperti ekor pesawat akan tetapi tidak meninggalkan keaslian masjid dengan menara, kubah, mihrab, dan lain-lain. Itu disebabkan, Soebardjo ketika itu membaca imajinasi masyarakat Makassar yang setiap harinya dihantui oleh pesawat pengebom B-29 yang melayang-layang di atas kota.

Pada bangunan aslinya, Masjid Raya memiliki Musafir Khana yaitu bangunan khusus tempat penampungan orang-orang terlantar atau musafir dan pelajar yang terputus bantuan dari orangtuanya sehingga memerlukan bantuan. Paling penting adalah masjid ini pertama kali lahir MTQ pada 1955 silam.




Selain desain konstruksi fisik Masjid Raya Makassar dengan kubahnya setinggi 36 meter, juga menjadi andalan dan bentuknya sangat menarik adalah mihrab atau tempat imam/khatib yang menampakkan pada kebesaran Islam di Eropa tepatnya Cordoba Spanyol. 

Kisah menarik yang dialami para perancang dan pelaksana proyek Masjid Raya Makassar, adalah penataan interiornya. Termasuk lukisan kaligrafi yang menghiasi dinding dan langit-langit masjid. Hasilnya bisa disaksikan sekarang, dimana pada bagian yang semula hanya berfungsi sebagai perekat struktur, terhias indah ayat-ayat suci Alquran. Begitupun bagian atas mihrab seluruhnya berhias Asmaul Husna.

Dari pengamatan penulis, Masjid Raya mempunyai beragam kegiatan yang diikuti dan dikelola oleh Remaja Masjid dan pengurusnya. Setiap hari pada bulan Ramadhan menyelenggarakan acara ta'jil menunggu waktu berbuka bersama warga masyarakat sekitar kota Makassar dan dilanjutkan Shalat Tarawih berjama'ah. Masjid Raya Makassar setiap tahunnya tak pernah meninggalkan tradisi Shalat Tarawih khas Ahlussunnah Wal Jama'ah yang berjumlah 20 rakaat plus 3 rakaat witir dalam dua salam. Dalam menyelenggarakan Shalat Jum'at berjama'ah juga tak lupa mengikuti tradisi Ahlussunnah Wal Jama'ah dengan 2 kali adzan Jum'at yang disertai dengan shalat qabliyah jum'at.



http://karim74.files.wordpress.com/2009/06/mesjid-raya-in-makassar-indonesia.jpg


(Dikutip dari berbagai sumber)


KH. Muhammad Nur

Posted On 06.04 0 komentar





Biografi Pengarang:
KH. Muhammad Nur

Beliau lahir pada 7 Desember 1932 di Desa Langkean Kabupaten Maros Sulawesi Selatan

Setelah tamat Volkschool tahun 1941 kemudian memasuki pesantren.

1947-1958 berangkat ketanah suci mekkah untuk memperdalam ilmu agama islam langsung kesumber aslinya yang murni.

Tamat hafal Al qur`an pada madrasah uluumul qur`an Mekkah tahun 1357 H.. Tamat pada Madrasah Fakhriyah Utsmaniyah tahun 1958 dan Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah hingga memperoleh gelar Asy-Syeik Fadhil dan mendapat sertifikat untuk mengajar di Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah Mekkah.

Memperoleh ijazah silsilah hadits melalui gurunya sebagai berikut :

1. Asy-Syekh Hasan Al-Yamani
2. Asy-Syekh Sayyid Muhammad Amin Al-Kutuby
3. Asy-Syekh Sayyid Alwi Abbas Al-Maliky
4. Asy-Syekh Ali Al-Maghriby Al-Maliky
5. Asy-Syekh Hasan Al-Masysyath
6. Asy-Syekh Alimuddin Muhammad Yasin Al-Fadany

Dari ijazah silsilah ini diberi gelar Al-Allamah Al-Jalil KH. Muhammad Nur Bugis

Setelah kembali dari Mekkah memberi pengajian di Mesjid-mesji di Makassar, sekaligus mendirikan/memimpin perguruan islam Ma`had Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah ujung pandang. Pada tahun 1988 membuka pesantren dengan nama Ma`han An-Nur Fi Ulumil Qur`an DI Maccopa Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.


Agenda Event / Kegiatan

Posted On 04.05 0 komentar

BULAN JULI 2011

TABLIGH AKBAR MALAM NISHFU SYA'BAN 
MAJELIS AHBABUL MUSTHOFA
Bersama: Habib Reza bin Muchsin Al-Hamid, dkk.
Tempat : halaman Jl. Ade Irma , Makassar
Waktu: Ba'da Shalat Isya


- Sabtu, 2 Juli 2011


BULAN JULI 2011

- Kamis, 30 Juni 2011



BULAN MEI 2011


- Jum'at 20 Mei 2011



assalamu alaikum warmatullahi wabarakatuh, saudara/saudariku seiman, kami mengharapkan kehadiran kalian dalam acara malam puncak milad Majelis Al-Mubarakh ke-10 yang insya allah akan dilaksanakan pada hari Jumat 20 Mei 2011 bertempat di Balai Prajurit Jendral M.yusuf Makassar (Diawali dengan Shalat Maghrib berjamaah) dengan Tema "Indonesia Berdzikir dan Bershalawat untuk keselamatan-kesehatan bangsa dan Negara"Atas Kehadiran saudara/saudariku. Kami ucapkan jazakallah Khairan Katsira.Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Minggu, 15 Mei 2011

Syaikh Yusuf Al-Makassari

Posted On 09.28 0 komentar



Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf. 
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak. 
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.


Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya. 



Sekilas Tentang Pondok Pesantren An-Nahdlah UP, Makassar

Posted On 09.04 1 komentar


معهد النهضــــــة اوجونج فاندانج
Pondok Pesantren AnNahdlah berlokasi di Jl. Tinumbu Dalam Lr.4 No.9 - (0411)314223 Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pondok Pesantren ini diproyeksikan sebagai pusat transformasi budaya lokal sekaligus benteng terakhir tradisi. Peran ini dipilih setelah mengkaji peran besar pesantren di negeri ini dalam sejarahnya yang sangat panjang. Maka di Pondok Pesantren AnNahdlah ini di samping berlangsung proses penguatan keimanan dan ketakwaan secara sistematis dan kontinyu juga terjadi proses pelestarian budaya dan tradisi.
Secara lebih spesifik, Pondok Pesantren AnNahdlah mengembangkan generasi tafaqquh fi al-din. Pola pendekatan fiqh oriented yang kontekstual dan sosiologis secara tidak langsung telah menjadikan pesantren sekaligus sebagai pusat pembentukan dan penguatan karakter masyarakat muslim yang lokalistik. Dengan demikian santri AnNahdlah menjadi salah satu unsur yang dapat memperkuat corak muslim yang berkarakter Indonesia. Banyak sekali tradisi muslim lokal yang tidak ditemui di belahan dunia lain, seperti tahlil, selapanan, tingkepan, khaul, halal bi halal, dan sebagainya. Jika memperhatikan hal ini maka dapat dipahami bahwa keberadaan Pondok Pesantren AnNahdlah akan memberikan kontribusi besar bagi proses transformasi ilmu pengetahuan sekaligus pelestarian tradisi di tengah masyarakat Indonesia.
Pondok Pesantren AnNahdlah merupakan institusi keagamaan dan sosial yang siap sedia bergabung dalam barisan yang berjuang mempertahankan kepentingan dan idealisme komunitas pesantren. Jadi hakikat keberadaan Pondok Pesantren AnNahdlah adalah berupaya mewujudkan idealisasi dan kepentingan pesantren sekaligus mengembangkan perjuangan penguatan identitas lokal, membangun peradaban yang berbasis tradisi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan politik kebangsaan.
Sebagai konsekuensi kelahiran Pondok Pesantren An-Nahdlah di tengah arus informasi, corak pergerakan Pondok Pesantren AnNahdlah adalah menyiapkan genrasi muslim sekaligus mendorong masyarakat untuk berinteraksi dengan budaya baru tanpa harus mengorbankan tradisinya. Maka dalam tataran praksis, Pondok Pesantren al-Nahdlah melengkapi diri dengan gedung megah, pemberlakuan pengajaran sistem klasikal, menata administrasi hingga komputerisasi, pengadaan perpustakaan yang lengkap dengan koleksi mulai dari kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali hingga buku The Third Way karya Anthony Giddens, dan membentuk usaha-usaha di sektor ekonomi. Sedangkan di sisi lain, Pondok Pesantren AnNahdlah masih mempertahankan pola hubungan santri-kiai manhaj Ta’lim al-Muta’allim, pengajian sistem wethon dan sorogan, dan menempatkan figur kiai sebagai institusi yang harus dihormati.


Tujuan Pondok Pesantren AnNahdlah adalah:

  1. Menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tinggi dalam pemahaman keagamaan.
  2. Meningkatkan kemampuan daya saing secara internasional tentang ilmu pengetahuan.
  3. Menghubungkan Indonesia dalam perkembangan ilmu pengetahuan internasional.
  4. Menyiapkan generasi yang beretika mulia (akhlaq al-karimah) dan menjunjung tinggi nilai keteladanan.

Fokus Pengembangan Pondok Pesantren AnNahdlah

Pondok Pesantren AnNahdlah mengembangkan:

  1. Mengembangkan dan membiasakan berbahasa Arab dan Inggris untuk menyiapkan generasi muslim yang dapat bersosialisasi dan berkompetisi di tingkat global. Maka AnNahdlah mengembangkan kursus Bahasa Arab/Inggris yang harus diikuti oleh semua santri.
  2. Mengembangkan tradisi kajian kitab kuning sebagai sumber otentik doktrin-doktrin keislaman agar santri terbiasa hidup dengan berlandaskan pada otentisitas referensi.
  3. Mengembangkan teknologi informasi sehingga santri mempunyai wawasan kehidupan yang luas.
  4. Mengembangkan pola perilaku khas pesantren yang menjunjung tinggi etika, sopan santun dengan menempatkan kiai (dan bentuk-bentuk institusi terhormat lainnya) sebagai figur sentral keteladanan.


Sabtu, 14 Mei 2011

Profil Majelis: Majelis Dzikir dan Ta'lim Al-Mubarakh Makassar

Posted On 00.31 0 komentar


Majelis Dzikir dan Ta'lim Al-Mubarakh didirikan dan diprakarsai oleh Al-Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid pada tanggal    Mei 2001. Majelis ini ....................................... bersambung


Profil Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid

Posted On 00.27 0 komentar



Ta’limnya mulai bersinar di Sulawesi Selatan. Ia mengimbau para pendakwah lain agar masuk ke Makassar.

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Tapi melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Habib Mahmud, yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa, ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mamiri. “Kita benar-benar memulainya dari nol, jatuh bangun, dihujat, dianggap bid’ah, dijauhi.... Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah, sekarang semakin banyak jama’ah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Ia merasa iri dengan kondisi di Jawa, yang menurutnya para habib dan ulama menumpuk, muhibbin tidak perlu dicari, dan kalau ada acara seperti haul dan pembacaan Maulid cukup dengan informasi seadanya sudah dihadiri begitu banyak orang.
“Dulu, di Makassar ini, kita sudah mengajak, mengumumkan di berbagai media dan mempublikasikan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi masih kesulitan.” Namun tak dapat diingkari bahwa dari waktu ke waktu antusiasme masyarakat semakin tinggi, dan jumlah jama’ah ta’lim semakin meningkat.
Habib Mahmud tidak berlebihan, jama’ah Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang dipimpinnya, sekarang ada ribuan. Ketika diadakan acara haul akbar pada 17 Januari 2009 yang lalu bertempat di Gedung Manunggal Jenderal Muhammad Yusuf, kota Makassar, puluhan ribu jama’ah hadir dan larut dalam doa dan dzikir.
Hampir semua pejabat, petinggi, dan tokoh politik Sulawesi Selatan hadir. “Saya berharap, semakin banyak majelis ta’lim dan Maulid berdiri, sehingga syiar dan gemuruh dakwah di sini semakin terpancar dan umat Islam semakin yakin dan bangga dengan ajarannya dan selalu meneladani Rasulullah dalam kehidupan dan aktivitasnya,” ujar Habib Mahmud.
Perlu dicatat, Al Mubarak adalah satu-satunya majelis ta’lim di kota Makassar.

Aktivis yang DinamisLahir dan dibesarkan di kota Makassar 42 tahun yang lalu, Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid memulai pendidikannya di sekolah Arab, di samping itu ia juga belajar di sekolah umum di pagi hari. Ibtidaiyah sampai aliyah diikutinya dengan tekun.
Selesai sekolah menengah, ia masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan meraih gelar sarjana ekonomi.
Semasa di kampus, Habib Mahmud termasuk aktivis yang giat menimba ilmu dari berbagai organisasi kampus. Ia pernah menjadi ketua badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), aktif di senat dan berbagai organisasi keagamaan.
Dari bekal aktif inilah Habib Mahmud mendapatkan begitu banyak pelajaran, terutama dalam mengelola massa yang kini jadi bekal utama ketika ia harus mengelola jama’ah dalam jumlah puluhan ribu. Prinsipnya adalah selalu belajar. “Saya tidak pernah bosan untuk belajar. Di mana saja saya berusaha untuk belajar. Bertemu dengan para habib saya belajar, bertemu dengan ulama saya belajar,” ujarnya penuh semangat.
Di rumahnya pun, kompleks Unhas lama, Panampu, kota Makassar, abah dan uminya memberikan pelajaran agama yang cukup kepada anak-anaknya. Abahnya, Habib Umar bin Abdullah Al-Hamid, di samping seorang pedagang, juga mempunyai ilmu agama yang cukup. “Abah saya itu setiap tiga hari khatam Al-Quran, itu kebiasaan yang dijaganya secara istiqamah sampai wafatnya tahun 1999,” ujar Habib Mahmud mengenang. Keuletan dan kegigihan menjadi sikap yang diikutinya dari orangtua.
Setelah selesai dari fakultas ekonomi, Habib Mahmud terjun di dunia bisnis sehingga mengharuskan ia mondar-mandir Makassar-Jakarta. Dalam rentang waktu inilah ia menemukan jodoh seorang wanita asal Solo dan mereka menikah tahun 1993, kini dikaruniai enam anak.
Kegigihannya belajar dari berbagai ulama dan habaib memberikannya bekal untuk juga menularkan kepada orang lain. Sekitar tahun 2001, Habib Mahmud memutuskan untuk memfokuskan diri berdakwah, dengan mendirikan Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Awalnya yang mengaji itu dua-tiga orang,” kenangnya. Lalu dia memulai acara pembacaan Maulid. Yang dibaca pun tidak tetap, kadang kitab Barzanji, karena orang Makassar banyak yang gandrung Barzanji. Lalu ia juga membacakan Simthud Durrar, juga Ad Diba’i. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat tidak bosan, dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.
Alhamdulillah, dari waktu ke waktu yang ikut majelis ta’lim pun semakin banyak dan hampir setiap hari ada kegiatan ta’lim. Di samping itu kegiatan Al Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya ta’lim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim, menjadi pengelola ‘Idul Qurban, dan berbagai kegiatan lainnya. “Masyarakat semakin percaya dengan kita, kemarin kita diamanahi 40 ekor sapi untuk dipotong, yang kemudian dibagikan kepada yang berhak. Padahal dulu ketika awal-awal berdiri hanya satu-dua ekor kambing,” kata Habib Mahmud.

Dakwah yang AsyikAda ramuan dakwah yang cukup mengena yang dilontarkan oleh Habib Mahmud, yaitu dakwah yang asyik. Artinya, dakwah itu benar-benar disenangi dan diminati oleh masyarakat, tidak membuat mereka gerah dan takut. Dan menurutnya itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
“Berbicara tentang manhaj dakwah tidak terlepas dari koridor yang telah dituntunkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, kelembutan jadi pijakan utama, tapi sikap keras juga perlu. Itu yang telah Rasulullah lakukan, dan hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Jadi, berdakwah itu, teladan utamanya adalah Rasulullah. Karena beliaulah uswah hasanah umat Islam,” tutur Habib Mahmud.
“Dakwah perlu persuasi, karena dakwah mempunyai tujuan, yaitu menarik hati orang. Mereka memerlukan cahaya dan ingin keluar dari kegelapan dengan cara bertaubat. Dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah, harus menghalau yang bathil dan mengajak kepada kebaikan.”
Jadi, menurut Habib Mahmud, tidak boleh seorang pendakwah hanya memilih yang oke-oke saja tapi ketika berhadapan dengan kemunkaran terdiam. Keduanya harus dilakukan dengan serius, dan tidak pandang bulu.
“Di samping itu berdakwah juga harus diikuti bil hal, bukan hanya lisan. Ada yang konkret dirasakan umat, seperti yang dilakukan oleh Habib Idrus Al-Jufri. Kalau mau turun berdakwah, Habib Idrus membawa sembako, sarung, dan kebutuhan konkret lainnya untuk masyarakat, sehingga obyek dakwah merasa asyik.
Sebelum berdakwah, kita bersosialisasi dengan masyarakat, tatap muka dan sambung rasa. Setelah itu kita memberikan taushiyah. Hal itu lebih kena dan lebih asyik, jadi ada mahabbah,” ujarnya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang sudah berlangsung tujuh tahun. Setiap tahun diadakan tabligh dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu bulan Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar dan khataman Al-Quran, setiap malam Jum’at membaca Maulid dan taushiyah, lalu malam Sabtu silaturahim dan Ahad pagi khusus taushiyah dari jam 07.00 sampai 09.00 WITA. Untuk mempererat persaudaraan, sebulan sekali diadakan pengajian akbar dari masjid ke masjid, yang dilaksanakan sehabis isya.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqamah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah. “Dengan niat karena Allah, empat malaikat, yaitu Izrail, Israfil, Mikail, dan Jibril, akan selalu menjaga kita.” Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Hafidz, salah satu tokoh yang sering jadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Beberapa tahun yang lalu saya bersilaturahim ke Darul Musthafa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz, alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan semakin berkembang luas dan semarak,” tutur Habib Mahmud.

Keras, bukan KasarHabib Mahmud juga ketua umum Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan. Ia sangat menyayangkan banyak umat Islam termakan citra negatif yang dibangun media cetak dan elektronik tentang FPI. Menurutnya, citra itu dikembangkan oleh mereka yang tidak ingin agama Islam jaya. “Sedikit saja hal keras yang dilakukan oleh FPI, diekspos besar-besaran, ditanamkan citra bahwa ini gerakan anarkis, gerakan kasar.” Padahal, menurut Habib Mahmud, begitu banyak kerja sosial tanpa lelah yang dilakukan FPI tapi tidak pernah diekspos.
“Ketika tsunami di Aceh, FPI, tanpa alat pelindung, tanpa gembar-gembor, mengurus puluhan ribu jenazah, tidak ada yang mengekspos. Kalau kita kerja sosial, menyantuni anak yatim, tidak ada yang mengekspos, dan memang tujuan kita bukan itu. Tapi kenapa sedikit saja kita melakukan kekerasan, lalu ribut di mana-mana, padahal kita bekerja prosedural, kita kirim surat sampai empat kali, kita kirim juga ke pihak berwenang. Kita tidak pernah kasar. Tapi kalau menyangkut aqidah, kita harus keras dan tegas,” katanya.
Citra yang terus-menerus ditanamkan oleh pihak yang tidak senang dengan Islam itulah yang akhirnya melekat di benak publik. “Sesuatu yang diembuskan terus-menerus akhirnya menjadi semacam kebenaran,” ujarnya prihatin.
Tapi, menurut Habib Mahmud, orang yang tidak menyetujui dakwah lahir dan bathin itu harus dihadapi dengan tenang, jangan dihadapi dengan emosional.
“Ada tempat saya berdakwah yang setiap hari terjadi pertempuran, saling memanah dengan panah beracun, semua dosa besar ada, perjudian, pelacuran, dan pembunuhan.... Saya masuk ke sana, tentu tidak langsung, harus berceramah, tapi mengadakan pendekatan dulu, saling berinteraksi. Kadang saya memberi mereka sarung, memberi kopiah, memberi baju, dan lama-kelamaan menjadi akrab. Kita harus bersahabat dengan mereka, baru kemudian menyampaikan pesan kita. Orang di sini adalah orang-orang yang keras...,” tuturnya.
Menurut Habib Mahmud, metode dakwah di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa, yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di Jawa habaib dan ulama melimpah, tapi di sini jumlahnya hanya sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah ke sini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi program Habib Umar bin Hafidz, yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar ke mana-mana, jangan pilih-pilih medan dakwah,” ujarnya.
Perbedaan cabang atau furuk di tubuh umat Islam, menurut Habib Mahmud, adalah hal yang biasa. Tapi kalau sudah menyangkut aqidah, menurutnya, itu adalah harga mati. “Kelompok seperti Jaringan Islam Liberal, Ahmadiyah, kelompok Lia Eden, sudah tidak bisa lagi diberi toleransi, karena itu menyangkut penyimpangan aqidah. Mereka ini sudah mengobok-obok Islam, sudah menghina Islam, tidak ada toleransi untuk mereka.
Dakwah yang baik harus sesuai dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, jangan ada misi lain. Kalau kita istiqamah dan yakin, Allah akan selalu menolong kita. Lihatlah nama-nama besar yang ikhlas dan istiqamah dalam dakwah, mereka diberi keberkahan dan ditolong oleh Allah. Kalau tidak ikhlas, akan hancur...,” ujar Habib Mahmud mengingatkan.
“Saya mencontoh dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, juga dakwah Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad Almaliki. Untuk apa kita berdakwah dengan jumlah ratusan ribu jama’ah tapi akhlaq tidak terjaga, jangan sampai jatuh pada akhlaq tercela. Banyak belum tentu jaminan. Untuk apa jumlah yang besar tapi tidak berkah?” katanya retoris.
Menurut Habib Mahmud, banyak contoh teladan yang bisa diambil dari para ulama dan habaib terdahulu. “Misalnya saja dari Habib Abu Bakar bin Salim, yang bisa khatam Al-Quran enam kali sehari, lalu shalat malam seribu rakaat. Dan setiap hari memotong enam ekor unta untuk para peziarah. Jadi, keberkahan dan keahlian itu muncul dari amalan. Kalau hanya bil lisan, penjual obat malah lebih pintar berceramah. Banyak orang retorikanya bagus tapi tidak ada berkahnya,” ujar Habib Mahmud.
Ia mengisahkan, suatu kali Habib Abdul Kadir Assegaf diundang oleh sebuah panitia untuk bertemu di Madinah. Seluruh ulama besar dunia hadir, semuanya sudah berbicara sesuai dengan keahliannya. Lalu ketika tiba giliran Habib Abdul Kadir, ia bilang kepada panitia bahwa sudah cukup yang berbicara, jadi ia tak perlu lagi.
Namun panitia mendesaknya. Akhirnya ia berpidato dengan hanya membaca doa Qunut, tapi efeknya sungguh luar biasa. Semua yang hadir menangis.
Kenapa mereka menangis? Karena wibawa dan pancaran hatinya yang tulus. Apa yang diucapkan oleh mereka yang tulus ikhlas dan hatinya bersih, efeknya sungguh berbeda. Oleh sebab itu, Habib Mahmud berpesan, “Jaga akhlaq, bersihkan hati, benahi ibadah, dan jangan pernah berdusta.”
Ia melanjutkan, “Mereka yang disebut wali Allah itu adalah mereka yang istiqamah melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menghindari apa yang dilarang Allah, bukan mereka yang pandai berjalan di atas air atau terbang seperti burung. Bukan itu. Mereka beriman secara kaffah, sinkron antara kata dan perbuatan.”

Dana dari AllahBanyak orang yang ragu ketika terjun penuh ke medan dakwah, bagaimana dengan nafkah mereka, bagaimana dengan ongkos operasional dakwah, dan banyak kekhawatiran lainnya. Menurut Habib Mahmud, semua kegiatan memang perlu dana, begitu juga dakwah. Tapi jangan sampai hal itu jadi beban. “Dunia itu jangan ditaruh di kepala, tapi taruh di bawah telapak kaki. Kalau kita berdakwah ikhlas karena Allah, mencontoh Rasulullah dan istiqamah, insya Allah kita akan selalu ditolong oleh Allah dan akan diberi jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga. Itu tauhid, harus haqqul yakin, malaikat akan datang, Allah akan memberi kekuatan. Jangan pernah ragu akan hal itu,” ujarnya memotivasi.
Ia mencontohkan kegiatan yang dilakukan oleh Al Mubarak. Kalau ia berpikir ala ilmu ekonomi, tidak akan pernah terlaksana berbagai acara yang berskala akbar itu, apalagi harus mengundang berbagai pihak dari luar. Tapi Habib Mahmud yakin, Allah akan menolong dan menyediakan dana, Allah akan mencukupi, karena Allah Mahakaya. Dan begitulah selalu setiap acara, apakah haul akbar, tabligh akbar, santunan sosial, ‘Idul Qurban, semuanya alhamdulillah berjalan lancar.
“Saya tidak pernah merisaukan dana. Kalau saya berpikir terlalu ruwet, acaranya tidak akan berjalan. Selalu ada pertolongan dan jalan keluar. Itu saya alami selama mengadakan acara untuk dakwah, seperti haul, tabligh akbar, khataman Al-Quran, ‘Idul Qurban, santunan anak yatim. Ikhlas karena Allah, dan Allah akan menyelesaikan semuanya. Apa yang tidak bisa kalau Allah berkehendak?” ujarnya mantap.
Menyinggung isu Palestina, Habib Mahmud prihatin dengan apa yang terjadi di sana, ribuan orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban Israel. Ia mendoakan, semoga mereka menjadi syahid di sisi Allah.
Menurutnya, kita memang harus peduli dengan nasib saudara-saudara kita di Palestina. Namun, kita juga harus introspeksi, demi meningkatkan kualitas iman dan taqwa. “Dari miliaran umat Islam ini, berapa persen yang istiqamah menjaga shalat fardhunya? Demikian banyak umat Islam yang tidak pernah shalat Subuh. Begitu banyak umat Islam tapi begitu banyak pula yang belum bersungguh-sungguh berislam,” ujarnya prihatin.
Terakhir, tentang obsesinya, ke depannya Habib Mahmud ingin mengembangkan Al Mubarak lebih luas lagi. “Kita akan membentuk yayasan nanti, lalu akan kita bangun pesantren khusus anak yatim, akan dibangun zawiyah. Begitu juga nanti ke depan ada media cetak dan media elektronik. Kita akan datangkan orang-orang ahli tamatan Yaman dan Makkah untuk mengelola itu semua, nanti kita lengkapi dengan bidang usaha, toko, biro haji, produk-produk keislaman. Kita sudah mulai kini dengan beberapa anak yatim dan dhuafa’ yang dibina dan dipelihara, kita harapkan doa dari umat Islam, doa dari ulama dan habaib. Semoga berkah, insya Allah,” ujar Habib Mahmud penuh semangat. IMR


Jadwal Pengajian dan Majelis

Posted On 00.18 0 komentar


Jadwal Pengajian, Majelis Dzikir dan Ta'lim di Makassar:

KAMIS:
- Majelis Al-Mubarakh : Jam 18.00 s/d 21.30 WITA
  Acara: Pembacaan Ratib Al-Haddad, Maulid Ad-Diba'i, dan Taushiyah Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid
  Tempat : Jl. Tinumbu 19 Kompleks UNHAS Baraya Blok Lama Makassar

- Majelis Al-Hasan : Jam 19.30 WITA (Ba'da Isya)
  Acara : Pembacaan Maulid Ad-Diba'i dan Taushiyah Para Habaib
  Tempat : Jl. Ade Irma No.    , Makassar


Selasa, 03 Mei 2011

Universitas Islam Makassar

Posted On 03.56 0 komentar


Awalnya hanya Akademi Dakwah yang dikelola oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), lalu berkembang menjadi salah satu universitas terkemuka di Sulawesi Selatan.

Tak heran jika Sulsel disebut sebagai benteng NU di kawasan Indonesia Timur, sebab dalam konteks pendidikan, nahdliyin di provinsi ini punya andil dalam pendirian perguruan tinggi yang berafiliasi kaum santri. Sebut saja Universitas Islam Makassar atau yang akrab disebut UIM.

“Pada mulanya, embrio UIM hanya Akademi Dakwah mula-mula dipimpin oleh Drs H Umar Syihab bersama H Husain Abbas. Akademi ini diresmikan pada 21 Februari 1966 oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Mr Muh Natsir Said,” terang Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS, Rektor UIM.

Hanya berselang tujuh tahun, akademi ini levelnya meningkat menjadi Fakultas Dakwah yang bernaung di bawah Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) yang dipimpin oleh Umar Syihab (1973-1975) didampingi oleh KHM Sanusi Baco, KHA Rahim Amin, Bustani Syarif, H Mohtar Husein, H Sahabuddin dan H Iskandar Idi. Beberapa pengurus inilah yang kemudian terus berusaha meningkatkan kualitas lem-baga pendidikan ini.

Tongkat estafet kepemimpinan kemudian beralih kepada H Abd Rahim Amin (1975-1979), didam-pingi oleh H Mahmud Abbas, H A Rahman Idrus dan Mubarak Pataba, kemudian dilanjutkan oleh H. Arsyad Parenrengi didampingi oleh H. Arisah AS, Fahruddin D dan M Amin Daud serta H Adam Mama sampai terbentuknya Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) al-Ghazali.

Tatkala kepemimpinan dipegang oleh Drs H Patombongi Badrun pada tahun 1990, STID resmi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) berdasarkan SK Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1990 tanggal 25 April 1990. Kemudian dilanjutkan oleh Drs KH M Busaeri Juddah pada tahun 1995-1997. Kemudian pada akhir tahun 1997 STAI al-Ghazali Makassar dipimpin oleh Dr H Abd Kadir Ahmad MS sampai terbentuknya UIM pada tahun 2000.

Sejak menjadi UIM, kampus yang terletak di Jl Perintis Kemerdekaan Km 09 No 29 Makassar ini telah memiliki enam fakultas, yakni Fakultas Pertanian, Fakultas Agama Islam, Fakultas Sospol, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi, Fakultas Sastra, serta Fakultas Ilmu Kesehatan. “Alhamdulillah, pada tahun ini kami membuka tiga program studi kependidikan,” kata Bu Majdah. Tiga prodi tersebut adalah studi Pendidikan Guru SD (PGSD), pendidikan bahasa Inggris, dan pendidikan bahasa Indonesia. “Tiga prodi ini berada dalam naungan Fakultas Sastra UIM,” terang wanita yang juga istri Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Agus Arifin Nu’mang MS, ini. Bahkan, menurut ibu empat anak ini, UIM sementara masih menunggu izin Dikti untuk Program Studi Ilmu Gizi dan Transfusi Darah untuk Fakultas Kesehatan, serta Prodi Teknik Sipil untuk Fakultas Teknik.

“Demi meningkatkan kualitas civitas akademika, kami juga menjalin kerja sama dengan Hay Group, sebuah pusat riset internasional yang memiliki kantor pusat di Singapura,” lanjutnya. Adapun kerjasama itu dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS sebagai Rektor UIM dan Andreas Raharso PhD, Ketua Pusat Riset dan Pengembangan Hay Grup, pada November tahun lalu.

“Dengan kerja sama ini nantinya UIM dan Hay Group bisa melakukan tukar informasi, pengembangan pendidikan, penelitian, dan soal pemberangkatan mahasiswa yang mau bekerja di luar negeri,” jelas Bu Majdah usai penandatanganan MoU. Penandatanganan MoU itu dilakukan sebagai rangkaian Workshop Internasional Peran Ilmuwan Indonesia Internasional dalam Pembangunan Indonesia. Workshop tersebut digelar atas kerja sama Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4), Dirjen Dikti, dan UIM. Pada workshop ini menghadirkan ilmuwan internasional antara lain Dr Muhammad Reza, pakar energi yang berkarir di Swedia dan Dr Etin Anwar yang juga dosen Hobart and William Smith College AS. Selain itu juga ada Dr Ugi Suharto, guru besar dan direktur ekonomi syariah pada Universitas College Bahrain, serta Andreas Raharso. Ratusan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Makassar, birokrat, industriawan, dan perwakilan organisasi masyara-kat sipil (OMS) menghadiri acara ini.

Alokasi Beasiswa

Selain itu, kampus yang bernaung di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Al-Ghazali Makassar ini juga mengalokasikan beasiswa bagi 234 mahasiswa berprestasi, khususnya dari kalangan keluarga kurang mampu dari segi ekonomi. ”Beasiswa ini kami prioritaskan bagi maha-siswa yang berprestasi dan dari kalangan yang kurang mampu,” katanya menerangkan.
UIM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengedepankan kualitas keilmuan yang berimbang dengan akhlak Islami, terus berusaha mendorong mahasiswa untuk meningkatkan kualitas diri. Salah satu upaya untuk memotivasi hal tersebut, lanjutnya, pihaknya menyalur-kan bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang mampu memperlihat-kan prestasi akademiknya. Meskipun UIM sebagai perguruan tinggi Islam, ia mengatakan, pihaknya tidak membatasi dalam menerima mahasiswa sepanjang mau mengikuti aturan yang ada. “Apalagi kami bukan hanya menyiapkan fakultas untuk jurusan pendidikan agama, namun fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti pertanian, ekonomi dan sebagainya,” ujarnya.

Dengan demikian, Bu Majdah mengatakan, cukup banyak pilihan untuk menimba ilmu sesuai dengan keinginan dan bakat serta minat calon mahasiswa. Selain mengalokasikan bantuan 234 beasiswa, UIM pada awal bulan silam mendapatkan bantuan buku sebanyak 800 eksemplar dari Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Menanggapi hal tersebut, salah se-orang mahasiswa Fakultas Pertanian UIM, Zainal mengatakan, buku yang disalurkan Ditjen Dikti tersebut sangat membantu, khususnya bagi mahasiswa yang kurang mampu. “Apalagi beasiswa yang disalurkan itu, dapat mengurangi beban keluarga yang kurang mampu,” ujarnya. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)