Assalamu'alaikum!! Selamat Datang di Situs Ahlussunnah Makassar www.almakassari.org

THIS-IS-FEATURED-POST-1-TITLE

FEATURED-POST-1-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-2-TITLE

FEATURED-POST-2-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-3-TITLE

FEATURED-POST-3-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-4-TITLE

FEATURED-POST-4-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-5-TITLE

FEATURED-POST-5-DESCRIPTION

Sabtu, 01 Oktober 2011

Pengertian Bid'ah Menurut Empat Imam Madzhab

Posted On 09.15 0 komentar

 Penulis: Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Republik Mesir)

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ‪.‬
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.

Definisi Bid'ah

Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).

Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)

Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.

Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)

Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.

Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah

Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:
  1. Bid'ah wajib.
  2. Bid'ah haram
  3. Bid'ah sunah
  4. Bid'ah makruh
  5. Bid'ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).

Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus

Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah: menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
‫كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ‬
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi--bahwa beliau berkata,
"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:
  1. Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
  2. Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)

Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah

Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
  • Bid'ah wajib
    Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,

    ‎‫مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ‬

    "Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."
  • Bid'ah haram
    Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
  • Bid'ah sunah
    Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.
  • Bid'ah makruh
    Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.
  • Bid'ah mubah
    Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

    Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
  1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,
    نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

    Ini sebaik-baik bid'ah.

    Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
    Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,

    "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."

    Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,

    نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

    Inilah sebaik-baik bid'ah.

    Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)
  2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.

    Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
    Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,

    "Bid'ah".
    (HR. Bukhari dan Muslim)
  3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):

    "Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
  1. Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
  2. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.

Wallahu a'lam

(Dari berbagai sumber)


Senin, 19 September 2011

Mengamalkan Ajaran Thariqah

Posted On 08.56 0 komentar

THORIQOH atau tarekat berarti “jalan”. Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thariqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Allah”.” (dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah).
Para ulama menjelaskan arti kata thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah (yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan (syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan dunia dengan memperbanyak ibadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak beguna. [dalam kitab Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah Imam Ghazali]
Thariqoh yang dimaksud dalam pembicaraan ini lebih mengacu kepada peristilahan umum yang berlaku dikalangan umat Islam di seluruh dunia, khususnya warga NU, yakni semacam aliran dalam tasawuf (berbeda dengan mistik atau klenik) yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan amalan peribadatan tertentu secara rutin –biasanya berupa bacaan atau wiridan khusus-- yang dipandu oleh seorang guru atau mursyid. Hadits yang disebutkan di atas sekaligus menjadi dalil naqli diperbolekannya ajaran-ajaran thoriqoh.
Para murid yang mengikuti aliran thoriqoh tertentu sedianya berniat belajar membersihkan hati dengan bantuan guru atau mursyid mereka dengan cara menjalankan amalan-amalan dan doa-doa khusus. Jika mereka masih awam dalam masalah keagaman dasar seperti masalah wudlu, sholat, puasa, nikah dan waris, maka mereka sekaligus belajar itu kepada sang mursyid. Para murid berbai’at atau mengucapkan janji setia untuk menjalankan amalan-amalan thariqoh yang dibimbing oleh sang mursyid. Bai’at thariqoh adalah berjanji dzikrullah dalam bacaan dan jumlah tertentu kepada guru dan berjanji mengamalkan ajaran islam dan meninggalkan larangannya. Sebagaimana bermadzab atau mengikuti imam tertentu dalam bidang fikih, para murid tidak diperkenankan berpindah thoriqoh kecuali dengan pertimbangan yang jelas dan mampu melaksanakan semua amalan thoriqohnya yang baru.
Sementara itu sang mursyid wajib menyayangi, membimbing, dan membantu membersihkan hati murid-muridnya dari kotoran dunia. Mursyid harus memiliki sifat kasih sayang yang tinggi terhadap kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika ia mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka dan belum mampu meninggalkan kejelekan, misalnya, maka ia harus bersikap toleran. Setelah ia menasihati mereka dan tidak memutus mereka dari thoriqah, juga tidak mengklaim mereka celaka, melainkan senantiasa menyayangi mereka sampai mereka mendapatkan hidayah.
Demikian syarat seorang mursyid yang disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub. Mursyid harus arif dalam hal kesempurnaan hati, adab-adabnya, dan bersih dari penyakit-penyakit hati. Mursyid juga harus memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh murid-murdnya, yaitu fikih dan aqa’id tauhid dalam batas-batas yang bisa menghilangkan kemusyrikan dan ketidakjelasan yang dihadapi oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu bertanya kepada orang lain.
Ada beberapa thoriqoh yang berkembang di Indonesia. Yang paling banyak pengikutnya, antara lain, Qodiriyah, Naqsabandiyah, Qodiriyah wan Naqsbandiyah, Syadziliyah. Dalam Muktamanya ke-26 di Semarang pada bulan Rajab 1399 H bertepatan dengan bulan Juni 1979 Nahdlatul Ulama meresmikan berdirinya Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dan dikukuhkan dengan suat keputusan PB Syuriah NU Nomor: 137/Syur.PB/V/1980). Jam’iyyah ini beranggotakan beberapa thariqot di Indonesia yang mu’tabaroh dan nahdliyah.
Mu’tabaroh artinya thariqoh yang dimaksud bersambung ajarannya kepada Rasulullah SAW. Sementara Rasulullah menerima ajaran dari malaikat Jibril dan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Nahdliyah maksudnya adalah bahwa para penganutnya selalu bergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT yang syariatnya menurut ahlussunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah (sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sabahat Beliau dan disejalaskan oleh imam Madzab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah sering mengadakan perkumpulan untuk membahas persolan-persoalan keagamaan, khususnya berkaitan dengan thoriqoh. Jam’iyyah ini juga berfungsi untuk saling memberikan masukan dan sekaligus membedakan diri dengan aliran-aliran kebatinan yang tidak muk’tabar dan tidak berdasar pada ajaran Rasulullah SAW.
Para pengamal thoriqoh senantiasa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang fana; membersihkan hati; mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sang mursyid dan murid-muridnya tidak diperkenankan menggandrungi harta benda. Juga kekuasaan. Ada satu hadits Rasulullah SAW yang menjadi pegangan para pengamal thariqoh. Ibn Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara qari’ atau orang yang hafal Al-Qur’an dan memahami maknanya yang paling dibenci oleh Allah adalah qari’ yang mengunjungi umara (penguasa).”

Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta. (A. Khoirul Anam)


*Tulisan ini bersandar pada buku “Permaslahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Muasyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdatul Ulama (1957-2005)” yang dihimpun oleh KH. A. Aziz Masyhuri.


Puasa Tarwiyah dan Arafah

Posted On 08.50 0 komentar

PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum'at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim). (***Anam)

(www.nu.or.id)


Jumat, 26 Agustus 2011

Manfaat Zakat Fitrah

Posted On 07.53 0 komentar

 Pertanyaan

Setiap sehabis puasa Ramadlan kita diwajibkan untuk melaksanakan zakat fitrah.
  1. Untuk apa zakat fitrah tersebut?
  2. Bagaimana dengan bayi baru lahir yang belum berkewajiban puasa, kenapa harus dizakati fitrah juga?
  3. Bagaimana dengan orang miskin, mengapa mereka terkena kewajiban berzakat fitrah? Padahal mereka juga mendapat hasil zakat fitrah tersebut.

Jawaban

  1. Faedahnya bisa melihat hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
    زكاة الفطر طهرة للصائم وطعمة للمساكين

    Zakat fitrah adalah beertujuan untuk membersihkan puasanya orang yang berpuasa (dari hal2 yang bisa menghilangkan pahala puasanya) dan untuk memberi makan bagi orang miskin (agar pada hari raya dia juga ikut bergembira, tidak susah karena tidak makanan baginya)
  2. Untuk bayi yang baru lahir maka fitrahnya sekedar menjalankan kewajiban perorangan guna membantu fakir miskin. Jadi tidak punya faedah seperti orang yang berpuasa.
  3. Dalam zakat fitrah yang dikategorikan miskin adalah orang yang pada malam hari raya tidak punya kelebihan makanan pokok, jadi meski awalnya dia dikategorikan miskin secara kehidupannya.

    Akan tetapi karena malam hari raya dia punya kelebihan makanan pokok sebab banyak yang fitrah pada dirinya, maka sejak itu dia mendapatkan kewajiban untuk berzakat fitrah.

    Meski dalam sisi yang lain dia juga tetap masih boleh menerima zakat, oleh karena inilah zakat fitrah itu dikatakan zakat yang unik sebab orang yang berhak mendapatkan zakat pada suatu waktu juga bisa menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat.
 (Dari berbagai sumber)
 
 
 
 


Jumat, 05 Agustus 2011

Tadarus Dengan Suara Lantang

Posted On 09.10 0 komentar

Pada bulan Ramadlan, pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya untuk memperbanyak melaksanakan ibadah kepada Allah SWT padda malam hari bulan Ramadlan. Dalam sebuah Hadits, Nabi SAW bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ص.م. قال من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. (صحيح البخاري, رقم 1870 )
“dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadaah, (dan dilaakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu” (Shahih al-Bukhari: 1870)
Tentang apa yang dimaksud dengan memeriahkan malam bulan Ramadlan yang ada dalam hadits ini, al-Shan’ani dalam kitabnya Subul al-Salam menjelaskan:
قيام رمضان اي قيام لياليهامصليااوتاليا. (سبل السلام, ج 2 ص 173 )
“yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam hadits itu) adalah mengisi dan memeriahkan malam Bulan Ramadlan denga melakukan shalat atau membaca al-Qur’an” (Subul al-Salam, juz II, hal 173)

Lebih lanjut, Syaikh al-Manawi, pengarang kitab Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir menjelaskan

ويحصل بنحو تلاوة اوصلاة اوذكر او غلم شرعي وكذاكل اخروي (فيض القدير , ج  6  ص 191 )
“Qiyam Ramadlan itu dapat dilaksanakan dengan membaca al-Qur’an, shalat, dzikir atau mempelajari ilmu agama. Dan juga dapat terwujud dalam setiap bentuk perbuatan baik.” (Faidl al-Kabir, juz VI, hal. 191)
Maka sudah jelas, bahwa membaca al-Qur’an pada malam bulan puasa itu sangat dianjurkan oleh agama. Kemudian bagaimana jika hal itu dilakukan secara bersama-sama. Yang satu membaca al-Qur’an, sedang yang lain mendengarkan serta memperhatikan bacaan tersebut? Menjawab pertanyaan ini syaikh Nawawi al-Bantani mengatakan:

فمن التلاوة المدارسة المعبر عنها بالادارة وهي ان يقرأ على غيره ويقرأ غيره عليه ولوغيرماقرأه الأول. (نهاية الزين , ص 195-194)
“Termasuk membaca al-Qur’an (pada bulan Ramadlan) adalah mudarasah, yang sering disebut pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. (Yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah al-Zain, 194-195)
dan ternyata, praktik seperti ini pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama malaikat Jibril. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن ابن عباس ان رسول الله ص.م. كان من اجودالناس واجودمايكون في رمضان حين يلقاه جبريل يلقاه كل ليلة يدارسه القرأن فكان رسول الله ص.م. حين يلقاه جبريل اجود من الريح المرسلة. (مسندأحمد , رقم 3358)
“Dari Ibn ‘Abbas RA bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah al-Qur’an dengan Nabi. Rasulullah SAW ketika dikunjungi malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad: 3358)
Dapat disimpulkan bahwa tadarus yang dilakukan di masjid-masjid atau mushalla pada malam bulan Ramadlan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan yang sangat baik, karena sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara, agar menambah syiar agama Islam, maka hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai mengganggu lingkungannya, supaya ajaran syiar tersebut bisa diraih.
Sumber: Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, Malang:Pustaka Bayan, 2004,


Selasa, 19 Juli 2011

Puasa Tasu'a dan Puasa 'Asyura

Posted On 08.46 1 komentar

Tasu’a berasal dari bahasa arab tis’a artinya sembilan, sementara ‘asyura berasal dari ‘asyara artinya sepuluh. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram pada Kalender Hijriyah. Tahun ini (1428 H) puasa Tasu’a dan Asyura dikerjakan pada hari Ahad dan Senin (28 dan 29 Januari 2007 M). Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dikerjakan namun tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.
Rasulullah SAW berdabda: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” –(HR Muslim)
Puasa ‘Asyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura )diagungkan oleh Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan seseatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”  Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)
Soal kemiripan dengan puasa umat yahudi ini diriwayatkan bahwa ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi di sana juga berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya: “Puasa apa ini?" Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” Maka beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Bukhari)
Jauh-jauh hari setelah Rasul wafat, hari ‘Asyura' dijadikan oleh kelompok Syi'ah, yakni kelompok yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali dan keluarganya, sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Kebetulan Sayyidina Hussein terbunuh pada hari itu juga di Padang Karbala.
Pada setiap hari ‘Asyura, kelompok Syiah memperingati kematian Husen dengan cara berkumpul, menangis, meratapinya secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi dan belati, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang kelompok umat Islam yang lain menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Dua budaya yang sangat kontras ini terutama berlangsung pada jaman dinasti Buwaihi (321H-447 H.). Pada masa itu terkenal adanya pertentangan antara Sunni dan Syi'ah dengan tajamnya.

Karena itu, sedianya, hari ‘Asyura diisi dengan ibadah puasa saja sebagaimana telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang keutamaan puasa ‘Asyura Ibnu Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan)." (HR. Al-Bukhari.)

* Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganjurkan pada hari Tasu’a dan ‘Asura ini umat Islam di Indonesia juga memperbanyak istigfar (atau membaca astaghfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah dan membaca hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim) sebagai bentuk pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Semoga Allah SAW menurunkan rahmat-Nya dan menghilangkan segala bencana. (Anam)


Senin, 18 Juli 2011

Istighotsah

Posted On 08.42 0 komentar

"Itighotsah" dalam bahasa Arab berarti “meminta pertolongan”. Istilah istighotsah terdapat dalam wiridan para anggota jama’ah thoriqoh (atau biasa dilafadkan dalam bahasa Indonesia menjadi tarekat) yang berbunyi: “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits..!” Wahai Dzat Yang Mahahidup dan dan Yang Tidak Butuh Pertolongan, berilah pertolongan kepadaku..! Di negara-negara Arab kalau pun kata istighotsah dipakai sebagai satu peristilahan maka itu berarti doa khusus saja yang ucapkan oleh seorang tokoh.
Di Indonesia istighotsah diartikan sebagai dzikir atau wiridan yang dilakukan secara bersama-sama dan biasanya di tempat-tempat terbuka untuk mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT. Sementara doa-doa yang diucapkan pada saat istighotsah adalah doa-doa atau bacaan yang khas diamalkan dalam jama’ah thoriqoh, meski kadang ada beberapa penambahan doa.
Pertama-tama para jama’ah istighotsah membaca surat pertama dalam Al-Qur’an yakni Al-Fatihah sebagai pembuka segala kegiatan yang baik. Selanjutnya jama’ah membaca doa-doa berikut:
1. Istighfar (astagfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah
2. Hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim) meminta kekuatan kepada Allah
3. Sholawat atau doa untuk Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
4. Lafadz tahlil panjang yang berbunyi “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin” sebagai pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa hamba yang sedang berdoa telah melakukan perbuatan dzolim.
5. Memuji asma Allah dengan lafadz “Ya Allah ya Qodim, ya Sami’u ya Basyir, ya Mubdi’u ya Kholiq, ya Hafidz ya Nasir ya Wakilu ya Allah, ya Lathif
6. Kemudian bacaan istighotsah “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits
Jumlah bacaan bisa bermacam-macam antara 1, 3, 7, 33, 100, atau 1000 tergantung sang pemimpin jama’ah istigotsah. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca surat Yasin dan dilanjutkan dengan tahlil untuk mendoakan para orang tua, guru, sesepuh, anak, dan saudara yang telah menghadap Sang Kholiq.
Jauh-jauh hari, jama’ah thoriqoh mengamalkan doa-doa tersebut pada waktu-waktu tertentu di ruangan tertutup seperti masjid, langgar dan musholla dengan penuh kekhusu’an dan dipimpin oleh guru tarekat (mursyid).
Pada akir tahun 1990-an para kiai Nahdlatul Ulama berinisiatif mengajak umat Islam dan bangsa Indonesia untuk berdoa, meminta pertolongan kepada Allah, secara bersama-sama di tempat terbuka. Saat itu Indonesia diperkirakan kiai telah dan akan memasuki bencana besar, maka berbagai elemen bangsa harus berdoa bersama-sama untuk keselamatan bangsa Indonesia.
Persis tanggal 25 Desember 1997 doa bersama untuk pertama kalinya dilaksanakan secara terbuka di lapangan bola Tambak Sari, Surabaya, dipimpin oleh Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur waktu itu KH Hasyim Muzadi. Ternyata Istighotsah tersebut bisa terlaksana dengun khusu dan syahdu, sehingga bisa membawa ketenangan jiwa. Yang kedua dilaksanakan lapangan Kodam Surabaya yang dihadiri tidak hanya di kalanagan NU tetapi juga kalangan pejabat.
Istighosah kemudian sering dilakukan terutama menjelang dan selama masa krisis 1997-1998. Istighotsah yang paling besar dilakukan di Lapangan Parkir Timur senayan Jakarta oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tidak hanya dihadiri oleh para kiai NU, tokoh umat Islam, tetapi juga para pimpinan partai, pejabat tinggi negara serta para petinggi Militer termasuk Panglima Angkatan Bersenjata. Waktu itu, istighostah selain sebagai doa bersama juga merupakan penegasan komitmen kebangsaan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia saat Indonensia terjadi krisis politik, ekonomi besar dan menghadapi bahaya disintegrasi bangsa.
Istighatsah kini menjadi istilah umum untuk dzikir yang dihadiri oleh banyak orang dan dilakukan di tempat-tempat umum. Istighotsah juga diisi dengan ceramah agama (mau'idzatul hasanah) kemudian ditutup dengan pembacaan doa pamungkas yang dipimpin oleh para ulama secara bergantian. (A Khoirul Anam)


Tradisi Ziarah Kubur

Posted On 08.36 0 komentar

Pada masa awal Islam, rasulullah SAW memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga aqidah umat Islam. Rasulullah SAW hawatir kalau ziarah kubur diperbolehkan, umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Seteleh akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatian untuk berbuat syirik, Rasulullah SAW membolehkan pra sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu umat Islam untuk mengingat saat kematiaanya.
Buraidah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad tetah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan adanya hadits ini maka ziarah kubur itu hukumnya baoleh bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian bagaimana dengan hadits Nabi SAW yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur?
Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW melaknat wanita yang berziarah kubur. (HR Ahmad bin Hanbal)
Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah SAW membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu. (Sunan At-TIrmidzi, [976]
Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke amakam para wali, beliau mengatakan:
Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khisus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka. (Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II, hal 24).
Ketika berziarah seseorang dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an atau lainya. Ma’qil bin Yasar meriwayatkan Rasul SAW bersabda: Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu. (HR Abu Daud)
Maka, Ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki dan perempuan, sebab didalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadia pahala bacaan Al-Qur’an, atau pun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.
*) Catatan KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember, Jawa Timur


Minggu, 17 Juli 2011

Qadha Puasa untuk Orang Mati

Posted On 08.13 0 komentar

Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang telah memenuhi syarat, wajib melaksanakannya. Jika pada satu saat orang tersebut tidak berpuasa, baik karena ada udzur ataupun tidak, ia berkewajiban mengganti puasa yang ditinggal tersebut pada lain hari.
Persoalannya adalah bagaimanakah jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai meninggal dunia ? bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya itu?
Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia dan belum mengganti puasanya.
1. Orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, kemudian ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya. Misalnya tidak ada waktu menqadha puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya. Bisa juga karena sakitnya tak kunjung sembuh sampai meninggal.
2. tidak berpuasa karena ada udzur, tapi orang tersebut memiliki kesempatan menqadha puasanya, namun kenyataannya ia tak mengganti puasa yang telah ditinggalkan, baik karena malas atau lainnya
3. orang tersebut tidak berpuasa tanpa ada alasan  yang dibenarkan kemudian meninggal dunia sebelum menqadha
Pada contoh pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban mengganti puasanya. Sebab ia tidak berbuat lalai. Pada contoh yang kedua, orang itu mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ahli waris atau familinya bisa menqadha’nya dengan cara: memberi makan fakir miskin atau menqadha’ puasanya. Hokum ini juga berlaku bagi contoh ketiga di atas.
Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban berpuasa, makahendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah, {1747})
Sedangkan pilihan kedua sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Buraidah bahwa seorang perempuan mendatangi Nabi lalu bertanya, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia punya hutang puasa. Apakah boleh saya berpuasa untuknya? “ Rasul menjawab: “Boleh”. (Sunan Ibnu Majah, {1749}).
(Alifatul Lailiyah. --dikutip dari buku Fiqh Tradisionalis karya KH. Muhyidin Abdussomad h.177)

(www.nu.or.id)


Sabtu, 16 Juli 2011

Nishfu Sya'ban

Posted On 08.06 0 komentar

BULAN SYA'BAN (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Hijriyah) adalah bulan yang penuh keutamaan namun sering dilupakan umat Islam karena bulan ini diapit oleh dua bulan utama. Pertama, bulan Rajab yang teristimewa karena pada bulan ini terjadi peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan kemudian mulailah ada kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Kedua bulan Ramadhan, saat kaum muslimin diwajibkan menjalankan puasa sebulan suntuk dan saat pahala kebaikan dilipatgandakan.
Sedianya bulan Sya’ban tidak dilupakan karena setelah mendapatkan banyak pelajaran tentang Isra’ Mi’raj dan setelah membenahi shalat kita pada akhir bulan Rajab, maka pada bulan Sya’ban saatnyalah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan.
Lagi pula, dalam bulan Sya’ban sendiri terdapat berbagai keistimewaan. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam Nishfu Sya'ban (pertengahan Sya’ban) ke langit dunia dan akan mengampuni manusia lebih dari jumlah banyaknya bulu kambing dan anjing. [HR Tirmizi].
Mu'az Ibn Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada malam Nishfu Sya'ban. Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni mereka kecuali yang musyrik dan orang yang memusuhi orang lain. [HR Sunan Ibn Majah].
Oleh para ahli hadits, dua hadits di atas dianggap yang tidak terlalu valid alias dla’if karena ada beberapa kesimpangsiuran dalam periwayatan dan mengenai periwayat haditsnya (sanad). Namun guna menyemangati hamba dalam menjalankan ibadah (fadlailul a’mal) para ulama membolehkan hadits ini sebagai pegangan. Selain itu, diriwayatkan juga Rasulullah SAW paling mencintai bulan ini dan beliau tidak melakukan puasa (selain Ramadhan) sebanyak puasa di bulan ini [HR Ahmad dari Usamah bin Zaid].
Nah, ada perbedaan pendapat diantara umat Islam dalam menyikapi satu hal dalam bulan ini, yaitu yang tersebut dalam hadits di atas sebagai Nishfu Sya’ban. Nishfu artinya setengah atau pertengahan. Nishfu Sya'ban berarti pertengahan bulan Sya'ban atau malam tanggal 15 Sya'ban dan esok harinya. Sebagian besar umat Islam menjalankan berbagai macam ibadah pada malam nisfu sya’ban, namun umat Islam yang lain ada yang tidak sepakat dan bahkan menganggap ibadah yang telah dilakukan oleh umat Islam pada malam Nishfu Sya’ban itu sebagai ibadah yang menyimpang atau mengada-ngada (bid’ah) karena tidak dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi secara langsung.
Ibn al-Jauzi memopulerkan hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW telah bersabda: Siapa yang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak dua belas rakaat dan membaca qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) tiga puluh kali pada setiap rakaatnya, ia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat tempat duduknya di dalam surga dan memberi syafa'at sepuluh orang ahli keluarganya yang seluruh masuk neraka.
Di dalam hadits ini ada enam orang perawinya yang identitasnya kurang lengkap (majhul), yaitu: Ahmad Ibn 'Ali Al-Khatib, Abu Sahl 'Abd As-Samad Ibn Muhammad Al-Qantari, Abu Al-Hasan 'Ali Ibn Ahmad Al-Yunani, Ahmad Ibn 'Abd Allah Ibn Dawud, Muhammad Ibn Jabhan, dan 'Umar Ibn Ar-Rahim.
Hadits lain ditakhrij oleh oleh Imam As-Suyuti bahwa Ibrahim meriwayatkan 'Ali Ibn Abi Talib melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya'ban berdiri lalu beliau melakukan shalat empat belas rakaat. Setelah selesai lalu Nabi duduk kemudian membaca ummul Qur'an (Surat Al-Fatihah) empat belas kali, qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) empat belas kali, ayat kursi satu kali. Ketika Nabi selesai shalat Ali bertanya tentang apa yang telah dia lihat. Rasulullah SAW lalu bersabda: "Siapa yang melakukan yang seperti apa yang telah engkau lihat, adalah baginya seperti dua puluh kali mengerjakan haji yang mabrur (sempurna), puasa dua puluh tahun yang maqbul (diterima), dan jika ia puasa pada siangnya, ia seperti puasa enam puluh tahun yang sudah lalu dan setahun yang akan datang.
Hadits yang tersebut di atas juga menyandung tujuh orang perawinya yang majhul bahkan ada seorang perawi yang dianggap sebagai pemalsu hadits yaitu Muhammad Ibn al-Muhajir sebagaimana penilaian yang dikemukakan oleh As-Suyuti sendiri.
Dengan demikian hadits-hadits yang menjelaskan ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW seperti di atas adalah dla’if. Para ulama menyatakan bahwa hadits dla’if dapat diamalkan dan diikuti sebatas sebagai penyemangat ibadah (fadailul a'mal), berisi nasihat-nasihat dan cerita-cerita baik, bukan untuk menentukan halal dan haram dan tidak berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. Pendapat ini diperpegangi oleh Ahmad Ibn Hanbal, an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, As-Suyuti, dan lainnya.

Perdebatan di kalangan umat Islam juga semakin mendalam ketika ada kalangan umat Islam lainya yang tidak menyia-nyiakan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan beberapa keutamaan seperti membaca surat yasin dan tahlil. Bagi kalangan yang terlalu kaku menganggap ibadah ini mengada-ngada karena jelas-jelas tidak ada hadits yang dloif sekalipun. Kalangan yang tersebut barusan tidak melakukan ibadah apapun yang pada waktu-waktu tertentu tidak dilakukan, diperintahkan atau dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. (A. Khoirul Anam)

(www.nu.or.id


Jumat, 15 Juli 2011

Tradisi Haul

Posted On 08.06 0 komentar

Peringatan haul (kata "haul" dari bahasa Arab, berarti setahun) adalah peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh untuk sekedar mengingat dan meneladani jasa-jasa dan amal baik mereka.
Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat pada tanggal tertentu alias tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan dengan peringatan haul itu.
Para keluarga mengadakan acara haul pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama keluarga, pada saat mereka mempunyai waktu senggang dan bisa berkumpul bersama. Di pesantren-pesantren, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap perkembangan pesantren dan syi’ar Islam diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar tahunan.
Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan: Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah, hlm. 394-396)
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II hlm. 18 menjelaskan, para sahabat dan ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biorafi orang-orang yang alim dan saleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka
Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. (A. Khoirul Anam)
*Kutipan hadits dan qoul ulama dalam tulisan ini diambil dari buku "Tradisi Orang-Orang NU" yang ditulis oleh H. Munawwir Abdul Fattah yang telah ditashhih oleh KH. A. Muhith Abdul Fattah, KH Maghfoer Utsman, dan KH. Masdar Farid Mas’udi, Diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.

(www.nu.or.id)


Kamis, 14 Juli 2011

Mencium Tangan Ulama dan Guru

Posted On 09.23 0 komentar

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan:


عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد



Dari Zari ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW. (HR Abu Dawud)

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shalih serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh. (Fatawi al-Imam an-Nawawi, Hal 79).

Dr. Ahmad as-Syarbashi dalam ktab Yas’alunakan fid Din wal Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengabn tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik.

Inilah hukum asal dalam masalah ini. Namun jika perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagimana perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan. (Yas’alunakan fid Din wal Hayah, juz II, hal 642).



KH Muhyiddin Abdushomad


Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/17433/Ubudiyyah/Mencium_Tangan_Ulama_dan_Guru.html



Rabu, 13 Juli 2011

Bacaan Dzikir Setelah Shalat Fardlu

Posted On 09.22 2 komentar



Berikut ini adalah bacaan wiridan ba’da sholat fardhu berdasarkan pada hadits Rasulullah


1.    اَسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ لِى وَالِوَلِدَيَّ وَلِاَصْحَابِ اْلحُقُوْقِ اْلوَاجِبَةِ عَلَيَّ وَلِمَشَايِخِنَا وَلِاِخْوَانِنَا وَلِجَمِيْعِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمَوَاتِ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ....3x
2.    لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهْ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ... 3x
3.    اَللّهُمَّ اَجِرْنَا مِنَ النَّارِ ...3x
4.    اَللّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَاِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَاَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَالسَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَاْلجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ
5.    اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا رَادَّ لِمَا قَضَيْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَاْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ
6.    سُوْرَةُ اْلفَاتِحَةِ
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾. أمِيْن
7.    سُوْرَةُ اْلاِخْلاَصِ ...3x بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾  ... (3)
8.    سُوْرَةُ اْلفَلَقْ ...1x
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾
9.    سُوْرَةُ النَّاسِ ...1x
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَـٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾
10.  اٰيَةُ اْلكُرْسِى...1x
       وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَاحِدْ ، لاَاِلٰهَ اِلاَّ هُوَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم ، اَللهُ لاَاِلٰهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ، لاَتَأْخُذُهُ سِّنَةُ وَلاَ نَوْمُ ، لَهُ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَمَا فِى اْلاَرْض ، مَنْ ذَاالَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّ بِاِذْنِهِ ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ، وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِنْ عِلْمِهِ اِلاَّ    

        بِمَاشَاءَ ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَاْلاَرْضََ ، وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ اْلعَلِيُّ اْلعَظِيْمُ .

       للهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَمَا فِى اْلاَرْضِِ، وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِى اَنْفُسِكُمْ اَوْتُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ الله ، فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ، وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْر.

       أٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَاْلمُؤْمِنُوْنَ ، كُلٌّ أٰمَنَ بِااللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ، وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ اْلمَصِيْرُ ، لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلاَّ وُسْعَهَا ، لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااْكتَسَبَتْ ، رَبَّنَا لاَ       
       تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا ، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ .

11.  شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لاَاِلٰهَ اِلاَّهُوَ وَاْلمَلاَئِكَةُ وَاُوْلُواْلعِلْمِ قَائِمًا بِااْلقِسْطِ لاَاِلٰهَ اِلاَّهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ ، اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَاللهِ اْلاِسْلاَمُ قُلِ اللّهُمَّ مَالِكَ اْلمُلْكِ تُؤْتِى اْلمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزَعُ اْلمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ اْلخَيْرُ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ
         قَدِيْرٌ ، تُوْلِجُ اللَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَتُوْلِجُ النَّهَارَ فِى اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ اْلحَيَّ مِنَ اْلمَيِّتِ وَتُخْرِجُ اْلمَيِّتَ مِنَ اْلحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابْ.
12.    اِلٰهَنَا يَا رَبَّنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا – سُبْحَانَ الله – 33x، سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا اَبَدًا
13.    اْلحَمْدُ لله ... 33x ، اْلحَمْدُ لله رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ عَلٰى كُلِّ حَالٍ وَنِعْمَةٍ
14.    اَللهُ اَكْبَرُ ... 33x ، اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَشِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً ، لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِااللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
15.    اَسْتًغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْم 33x
16.    اَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ اَنَّهُ – لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ –33x
17.    لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَلِمَةُ اْلحَقُِّ عَلَيْهَا نَحْيٰ وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ اِنْ شَاءَاللهُ تَعَالٰى مِنَ اْلاٰمِنِيْنَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَكَرَمِهِ ، جَزَ اللهُ عَنَّا سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهُوَ اَهْلُهُ
Setelah berdzikir dianjurkan untuk berdoa sesuai dengan kepentingan masing-masing
Sumber LTM-PBNU


Selasa, 12 Juli 2011

Beragama Islam Secara Kaffah?

Posted On 09.06 0 komentar

Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim 2006 di Pesma Al Hikam Malang
Pertanyaan
1(. Bagaimana kecenderungan mufassirin (mutaqaddi-min – mutaakhirin) dalam menyimpulkan perintah memasuki Islam secara kaffah sesuai teks ayat : أدْخـُلوُا فِى السِّـلْمِ كَافَّةً (QS. al-Baqarah : 208)?
Jawaban :
Kecenderungan Mufassirin dalam menafsirkan perintah masuk Islam secara kaffah ada dua golongan yaitu :
  1. Perintah masuk Islam bagi seluruh umat manusia.
  2. Perintah terhadap umat Islam agar menerapkan syari’at secara penuh dengan segala kemampuannya.
المراجع:

التفسير الكبير للإمام فخر الدين محمد بن عمر الرازى {ط.دار الكتب العلمية}

(يَاأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا) بِِالألْسِنَةِ (أدْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَافَّةً) أى دُومُوا عَلَى الإِسْلاَمِ فِيمَا يَسْتَأنِفُوْنَهُ مِنَ العُمْرِ وَلاَ تَخْرُجُوا عَنْهُ وَلاَ عَنْ شَرَائِعِهِ .... الى أن قال ... قَالَ القَفَّالُ (كافة) يَصِحُّ أنْ يُرْجَعَ الَى المَأمُورِينَ بِالدُّخُولِ اى أُدْخُلُوا بِأجْمَعِكُمْ فِى السِّلمِ وَلاَ تَفَرَّقُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا - الى ان قال- وَيَصْلُحُ أنْ يُرْجَعَ اِلَى الإِسْلاَمِ كُلُّهُ اى فِى كُلِّ شَرَائِعِهِ، قالَ الوَاحِدِى رَحِمَهُ الله: هَذَا ألْيَقُ بِظَاهِرِ التَّفْسِيرِ لأنَّهُمْ أُمِرُوا بِالقِيَامِ كُلِهَا
Terjemah :
Firman Allah (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan”. Maksudnya tetaplah kalian semua diatas agama Islam sejak awal permulaan dan janganlah kalian keluar dar Islam dan syariat Islam -sampai perkataan mufassir- Imam Qaffal berkata : kata “kaaffah = keseluruhan” bisa kembalikan kepada mereka yang diperintah masuk Islam, sehingga maksudnya : masuklah kalian kesemuanya dalam agama Islam dan janganlah berpisah-pisah dan jangan pula berbeda-beda, -sampai perkataan mufassir- dan pastas pula kata “kaaffah = keseluruhan” dikembalikan kepada Islam, yakni seluruh syariat Islam. Al Wahidi ra berkata : pendapat ini lebih layak dengan dhahirnya tafsir karena mereka (orang-orang mukmin) diperintah melaksanakan keseluruhan syariat Islam.
تفسير النسفى الجزء الأول ص. 104-105
يا أيها الذين آمنواادخلوا فى السلم وبفتح السين حجازى وهو الاستسلام والطاعة أي استسلموا لله وأطيعوه أو الإسلام والخطاب لأهل الكتاب لأنهم آمنوا بنبيهم وكتابهم أو للمنافقين لأنهم آمنوا بألسنتهم كافة لا يخرج أحدمنكم يده عن طاعته حال من الضمير فى ادخلوا أى جميعا أو من السلم لانها تؤنث كأنهم أمروا أن يدخلوا فى الطاعات كلها أو فى شعب الإسلام وشرائعه كلها وكافة من الكف كأنهم كفوا أن يخرج منهم أحد باجتماعهم
Terjemah :
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian semua didalam keselamatan” , salmi dengan dibaca fathah sinnya itu menurut Ahli Hijaz yang artinya menyerah dan taat. Maksudnya menyerahlah kalian kehadirat Alloh dan taatlah kepada-Nya. Atau Islam dan berarti pembicaraan ini ditujukan kepada Ahli Kitab, karena mereka Iman kepada Nabi-Nya dan Kitab-Nya,atau pembicaraan ditujukan kepada orang-orang munafik karena mereka beriman hanya dengan lisannya. Kata kaaffah (secara keseluruhan) artinya tak satupun dari kalian yang keluar dari taat kepada Alloh, sehingga lafadz Kaffah itu menjadi Haal dari dhomir yang ada pada Udkhuluu yang semakna denga jami’an yang artinya semua atau kaaffah menjadi haal dari Assilmi karena ia muannats. Seakan-akan mereka diperintah untuk melakukan seluruh ketaatan atau cabang-cabang Islam dan syariat-syariatnya. Lafadz Kaaffah dari kata Al Kaffa, seakan-akan mereka mencegah jangan sampai seorangpun dari mereka keluar sebabmereka telah berkumpul.
التفسير المنير للدكتور وهبة الزحيلي جز 2 ص 340 ط : دار الفكر المعاصر
الاسلام كل لايتجزء فمن امن به وجب عليه الأخذ به كله فلا يختار منه مايرضيه ويترك مالايرضيه او يجمع بينه وبين غيره من الأديان لأن الله تعالى امر باتباع جميع تعاليمه وتطبيق كل فرائضه واحترام مجموع نظامه بالحل او الإباحة والحظر او الحرمة
Terjemah:
Agama Islam sesuatu yang utuh yang tak boleh dipecah-pecah, maka barang siapa beriman kepada islam maka ia wajib mengambil keseluruhannya. Jadi dia tidak boleh memilih hukum Islam yang ia senangi dan meninggalkan hukum Islam yang tidak ia sukai atau mengumpulkan antara Islam dan agama-agama yang lain, karna Allah Ta’ala memerintahkan mengikuti seluruh ajaran-ajaran Islam, menerapkan semua kewajiban-kewajibannya dan memulyakan semua aturan-aturannya tentang halal dan haram.
)2(. Apakah manifestasi berislam secara kaffah mengharuskan pemberlakuan syari’at Islam dalam kehidupan bernegara (konstitusional) dan kehidupan bermasyarakat (kultural) di Indonesia ?

Jawaban :

Penerapan syari'at Islam dalam kehidupan bernegara (konstitusi) dan dalam kehidupan bermasyarakat (kultur) adalah tanggung jawab bersama setiap muslim. Usaha menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara harus dilaksanakan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan. Tahapan amar ma'ruf nahy munkar adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh dalam memperjuangkan berlakunya hukum Islam dalam negara.
بغية المسترشدين ص : 271
وَالاسْلاَمُ لاَيَسْمَحُ المُسْلِمَ اَنْ يَتَّخِذَ مِنْ غَيْرِ شَرِيْعَةٍ الله قَانُونًا وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ عَنْ نُصُوصِ الشَّرِيعَةِ اوْ مَبَادئِهَا العَلِيَّةِ اَو رُوْحِهَا التَشْرِيْعِيَّةِ مُحَرَّمٌ تَحْرِيْمًا قَاطِعًا عَلَى المُسْلِمِ بِنَصِّ القُرْانِ الصَّرِيْحِ
Terjemah :
Islam tidak memberi toleransi kepada orang Islam untuk menjadikan undang-unfang dari selain syariat Allah. Dan setiap sesuatu yang keluar dari nash syariat atau dasar-dasar syariat yang luhur atau (ruh) jiwa tasyri’iyyah adalah diharamkan secara pasti atas orang muslim berdasarkan dalil nash al Qur’an yang jelas.
بغية المسترشدين:271 دار الفكر
(فائدة) –الى ان قال- وَمِنْهَا تَجِبُ أنْ تكُونَ الأحْكَامُ كُلُهَا بِوَجْهِ الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ وَأمَّا أحْكَامُ السِّيَاسَةِ فَمَا هِىَ إلاَّ ظُنُونٌ.
Terjemah :
(Faidah) sampai perkataan mushannif : Sebagian diantaranya, semua hukum harus memakai syariat yang mulia, sedangkan hukum siyasah (politik) tiada lain hanyalah menggunakan prasangka-prasangka.
تفسير ابن كثير جز 2 ص : 16
وقال علي بن ابى طلحة عن ابن عباس قوله ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون قال ومن جحد ما انزل الله فقد كفر ومن اقر به ولم يحكم به فهو ظالم فاسق
Terjemah :
Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah (artinya) : “ Barang siapa tidak menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang kafir”, bahwa barang siapa mengingkari hukum yang ditutrunkah Allah maka dia kafir dan barang siapa mengakui hukum Allah namun dia tidak menghukumi dengannya dia itulah orang dhalim dan fasik.
غاية تلخيص المراد ص : 263
يجب على الحاكم الوقوف على احكام الشريعة التى اقيم لها ولا يتعداه الى احكام السياسة بل يجب عليه قصر من تعدى ذلك وزجره وتعزيره وتعريفه ان الحق كذا
Terjemah :
Wajib atas seorang hakim tetap konsisten pada hukum-hukum syariat sesuai tujuan dinobatkannya hakim itu dan jangan sampai melampaui sampai pada hukum-hukum siyasah (politik), bahkan ia wajib membatasi orang yang melanggarnya, mencegahnya, menta’zirnya dan memberitahu bahwa hukum yang benar adalah begini.
)3(. Berdosakah orang Islam di Indonesia karena membiarkan tidak diamalkannya ajaran syari’at Islam oleh negara tempat ia menetap tinggal ?
Jawaban :
Bagi yang mampu dan mempunyai akses untuk perjuangan berlakunya hukum Islam maka harus benar-benar melaksanakan tanggung jawabnya, sehingga pabila mereka (yang mampu) tidak ada usaha untuk berlakunya syariat Islam di Indonesia maka berdosa. Bagi masarakat umum berkewajiban memberi dukungan penuh demi berlakunya hukum Islam.
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قالَ سَمِعتُ رَسو لَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَن رَأى مِنكُمْ مُنكَرًا فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِه فَاِن لَم يَسْتطِعْ فَبِلِسانِه فَانْ لَمْ يَسْتطِعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الايْمَانِ (رواه البخارى )
Terjemah :
Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab dia berkata : aku mendengan Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia memberantasnya dengan tangan (kekuasaan) nya, lalu jika ia tidak mampu maka memberantasnya dengan lisannya, lalu jika tidak mampu maka memberantasnya dengan hatinya dan demikian itu peling lemahnya iman. (HR: Bukhari)
الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص : 51
وَقالَ الشَيْخُ عَبدُ القَادِرِ الجَيلانِى رضِيَ الله عَنهُ فَالمُنْكِرونَ ثلاثةُ اَقسَامٍ قِسْمٌ يَكُونُ اِنْكارُهُ بِاليَدِ وَهُمُ الأئِمَّةُ وَالسَّلاطِينُ وَالقِسْمُ الثانِى اِنْكارُهُم بِاللِسَانِ دُونَ اليَدِ وَهُم العُلمَاءُ وَالقِسمُ الثالِثُ اِنْكارُهُم بِالقَلْبِ وَهُم العَامَّةُ
Terjemah :
Syaikh Abdul Qodir Jailani berkata :
Orang-orang yang menginkari (menentang) itu ada tiga macam :
- Ingkar dengan kekuatan yaitu ingkarnya para pemimpin dan penguasa.
- Yang kedua ingkar dengan lisan bukan dengan kekuatan yaitu ingkarnya para ulama’
- Yang ketiga ingkar dengan hati yaitu ingkarnya orang-orang umum.
حاشية الجمل شرح المنهج جز: 5 ص : 182 – 183
وبأمر بمعروف ونهى عن المنكر اى الامر بواجبات الشرع والنهي عن محرماته اذا لم يخف على نفسه او ماله او على غيره مقسدة المنكر الواقع
Terjemah :
Perintah kebagusan mencegah kemungkaran artinya perintah dengan kewajiban-kewajiban syara’ dan mencegah dari perkara yang diharamkan syara’. kalau memang dia tidak takut pada kerusakan yang terjadi pada dirinya, hartanya atau yang lain, dengan kerusakan yang nyata.
تفسير البيضاوي ج: 2 ص: 328
ومن لم يحكم بما أنزل الله مستهينا به منكراله فأولئك هم الكافرون لاستهانتهم به وتمردهم بأن حكموا بغيره ولذلك وصفهم بقوله الكافرون و الظالمون و الفاسقون فكفرهم لإنكاره وظلمهم بالحكم على خلافه وفسقهم بالخروج عنه
Terjemah :
Barang siapa menghukumi tidak sesuai hukum yang diturunkan Alloh bahkan dia malah menghinanya, dan menginkarinya, maka dihukumi Kafir. Karena dia menghina terhadap hukum dan menolaknya dengan gambaran dia menghukumi tanpa memakai hukumnya Alloh, karena itu Alloh mensifati mereka dengan predikat kafirun, dholimun, dan fasiqun. Sifat kafir karena mereka inkar dan aniaya dengan menghukumi dengan selain huku Alloh dan kefasikan mereka karena mereka keluar dari hukum-hukum-Nya.
)4(. Bolehkah masing-masing WNI yang beragama Islam atau kelompok mereka menerapkan secara sepihak hukum publik yang menjadi bagian dari syari’at Islam (seperti hukum jinayat( ?
Jawaban :
Penerapan syariat Islam di bidang pemberlakuan hudud (hukuman mati, potong tangan, cambuk dan lain-lain) adalah hak prerogratif negara. Masyarakat umum tidak boleh melaksanakan sendiri-sendiri atau pada kelompok masing-masing.
Tambahan:
Bagi organisasi-organisasi Islam seperti NU, diharapkan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah untuk berlakunya hukum Islam dalam konstitusi negara.
الفقه الإسلامى وادلته الجزء السادس ص:58
ثَانِيًا لا يُقِيمُ الحُدُودُ إلاَّ الإمَامُ اَو مَنْ فَوَّضَ اِلَيهِ إلإِمَامُ بِاتِّفَاقِ الفُقَهَاءِ لأَنَّهُ لَمْ يَقُمْ حَدٌّ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وَسَلمَ إلاَّ بِإذْنِهِ وَلا فِى أيَّامِ الخُلفَاءِ إلاَّ بِإذْنِهِمْ وَلأَنَّ الحَدَّ حَقُّ اللهِ تعَالى يَفْتقِرُ اِلى الإِجْتِهَادِ وَلا يُؤْمَنُ فِيه الحَيفُ فَلَمْ يَجُزْ بِغَيرِ إذْنِ الإمَامِ
Terjemah :
Kedua: tidak boleh menegakkan hukuman kecuali seorang imam atau orang yang dikasih kepercayaan (mandat) oleh imam. bitthifaqil fuqoha’ (sesuai kesepakatan ahli fiqih), karena had (hukuman) tidak ditegakkan pada masa hidupnya Nabi SAW, kecuali dapat izin dari beliau dan pada masa Khulafaur rasyidin kecuali dapat izin dari beliau-beliau. Karena hukuman (had) itu haqqulloh yang membutuhkan ijtihad (kesungguhan yang maksimal), dan padahal tak ada jaminan aman dari penyelewengan, karenanya maka tidak boleh (menghukum) kecuali dengan izin imam.
الموسوعة الفقهية 3:167
اَلإسْتِبْدَادُ المُفْضِى اِلىَ الضَّرَرِ اَوِ الظُّلْمِ مَمْنُوْعٌ كَالإسْتِبْدَادِ فِى احْتِكَارِ الاَقْوَاتِ وَاسْتِبْدَادِ اَحَدِ الرَّعِيَّةِ فِيمَا هُوَ مِنَ اخْتِصَاصِ الاِمَامِ مِثلَ الْجِهَادِ وَالاِسْتِبْدَادِ فِى إقَامَةِ الحُدُودِ بِغَيْرِ إذْنِ الإمَامِ.
Terjemah :
Sewenang-wenang yang dapat menimbulkan terhadap dhoror (bahaya) atau dzolim itu dilarang, seperti sewenang-wenang menimbun makanan pokok, dan sewenang-wenangnya salah satu rakyat dalam urusan yang merupakan hak khusus imam, seperti jihad (berperang) dan sewenang-wenang menegakkan hukuman (had) dengan tanpa izinnya imam.
الموسوعة الفقهية 17/240-242
الشرط السادس: الإذن من الإمام:16 – اشترط فريق من العلماء فى المحتسب أن يكون مأذونا من جهة الإمام أو الوالي،وقالوا: ليس للآحاد من الرعية الحسبة والجمهور على خلافه الا فيما كان محتاجا فيه الى الاستعانة وجمع الاعوان وما كان خاصا بالائمة او نوابهم كاقامة الحدود وحفظ البيضة وسد الثغور اما ما ليس كذلك فان لآحاد الناس القيام به لان الادلة وردت فى الامر والنهي والدع عاماة - الى ان قال - واما جمع الاعوان وشهر الاسلحة قد يجر الى قتنة عامة ففيه نظر وقد ذهب الى اشتراط الاذن فى هذه الحالة جماهر العلماء لانه يؤدي الى الفتن وهيجان الفساد وكذلك ما كان مختصا بالأئمة والولاة فلا يستقل بها الآحاد كالقصاص، فإنه لا يستوفى إلا بحضرة الإمام ،لأن الإنفراد باستيفائه محرك للفتن
Terjemah :
Syarat No. 6 : Dapat izin dari imam. Sebagian Ulama’ mensyaratkan untuk relawan harus mendapat izin dari imam atau dari penguasa (wali). Para Ulama berkata: Bagi individu rakyat tidak boleh menjadi relawan ) eksekutor hukuman ). Kebanyakan ulama’ tidak sependapat dengan syarat diatas kecuali dalam urusan yang memerlukan bantuan dan mengumpulkan banyak pembantu dan urusan yang khusus bagi imam atau penggantinya seperti menegakkan hukuman, menjaga keutuhan/persatuan memperkuat benteng pertahanan dan mengirikan pasukan. Adapun hal-hal yang tidak seperti diatas bagi individu-individu manusia boleh melakukannya karena dalil-dalil tentang perintah, larangan dan pencegahan berlaku umum -sampai perkataan mushannif- adapun mengumpulkan pembantu-pembantu dan menghunus pedang itu bisa jadi menimbulkan fitnah yang merata, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Kebanyakan para ulama’ dalam hal yang seperti ini berpendapat harus mendapat izin dari imam karna bisa menimbulkan fitnah dan gejolaknya kerusakan. Dan demikian pula sesuatu yang khusus bagi imam dan penguasa, maka perorangan tidak boleh melakukan sendiri, seperti qishos (hukuman balasan sepadan) . Sesungguhnya seseorang tidak boleh melaksanakan (hukuman) kecuali adanya persetujuan dari imam, karena kesendirian dalam malaksanakan hukuman, akan dapat menimbulkan fitnah.
)5(. Sesuaikah dengan prinsip ahkam sulthaniyah bila secara diam-diam sekelompok umat Islam di Indonesia membaiat dan mengesahkan amir/pemimpin Islam guna menjadi landasan legitimasi ibadah atau pengamalan agama kelompok tersebut ?
Jawaban:
Membaiat dan mengesahkan amir/pemimpin Islam dengan tidak mengakui terhadap keabsahan kepemimpinan yang sudah ada tidak sesuai dengan prinsip hukum bernegara menurut Islam.
المراجع:
كشاف القناع للبهوتى الحنبلى الجزء السادس ص:205
الرَّابِعُ قَوْمٌ مِنْ أهْلِ الحَقِّ بَايَنُوا الإمَامَ وَرَامَوْا خَلْعَهُ أي عَزْلَهُ أوْ مُخَالَفتَهُ بِتَأوِيْلٍ سَائِغٍ بِصَوَابٍ أوْ خَطَأٍ وَلهُمْ مَنْعَةٌ وَشَوْكَةٌ بِحَيثُ يَحْتاجُ فِي كَفِّهِمْ إلَى جَمْعِ جَيْشٍ وَهُم البُغَاةُ المَقصُودُونَ بِالتَّرْجَمَةِ فَمَن خَرجَ عَلَى إمَامٍ عَدْلٍ بِأحَدِ هَذهِ الوُجُوهِ الأرْبَعةِ بَاغِيًا وَجَبَ قِتالُهُ لِمَا تَقَدَّمَ أوَّلَ البَابِ
Terjemah :
Yang ke-empat: suatu kaum dari ahli haq (kebenaran) melawan terhadap imam dan menuduh bahwa ia telah terpecat/menentangnya dengan ta’wil yang benar/salah, dan mereka itu memiliki kekuatan dan kekuasaan, sekira imam butuh terhadap pasukan untuk mencegah mereka , maka kaum itu dikatakan AL Bughoh (penentang Imam) sebagaimana yang dikehendaki dalam terjemah/judul barang siapa memberontak terhadap Imam yang ‘adil dengan sebab satu diantara empat macam dengan jelas-jelas membangkang maka orang tersebut wajib diperangi karna adanya keterangan yang sudah dijelaskan diawal bab.
التشريع الجنانى الإسلامى لعبد القادر عودة الجزء الثانى ص:675
يشترط لوجود جريمة البغى الخروج على الإمام والخروج المقصود هو مخالفة الإمام والعمل لخلعه أو الإمتناع عما وجب على الخارجين من حقوق ويستوى أن تكون هذه الحقوق لله اى مقررة لمصلحة الجماعة او للأشخاص اى مقررة لمصلحة الأفراد فيدخل تحتها كل حق تفرضه الشريعة للحاكم على المحكوم وكل حق للحماعة على الأفراد وكل حق للفرد على الفرد فمن امتنع عن أداء الزكات فقد امتنع عن حق وجب عليهم ومن امتنع عن تنفيذ حكم متعلق بحكم الله كحد الزنا أو متعلق بحق الأفراد كالقصاص فقد امتنع عن حق وجب عليه ومن امتنع عن طاعة الإمام فقد امتنع عن الحق الذى وجب عليه وهكذا ولكم من المتفق عليه أن الإمتناع عن الطاعة فى معصية ليس بغيا وإنما هو واجب على كل مسلم لأن الطاعة لم تفرض إلا فى معروف ولا تجوز فى معصية.
Terjemah :
Disyaratkan wujudnya kejahatan makar adalah membangkang terhadap Imam. Pembangkangan dimaksud yaitu menentang imam dan melakukan yang mengarah kepada pemecatan imam atau menolak hak-hak yang wajib atas para pembangkang. Dan sama hak-hak ini bagi Allah ya’ni yang ditetapkan demi kemaslahatan orang banyak atau perorangan maksudnya ditetapkan demi kemaslahatan perorangan. Termasuk didalam hak-hak ini setiap hak yang diwajibkan syari’at bagi hakim atas orang yang dihukumi, setiap hak bagi golongan atas perorangan dan setiap hak bagi perorangan atas perorangan. Jadi barang siapa mencegah membayar zakat maka berarti dia mencegah hak yang wajib atas mereka dan barang siapa
mencegah menegakkan hukum yang behubungan dengan hukum Allah seperti hukuman zina atau yang berhubungan dengan hak perorangan seperti Qishos maka ia mencegah haq yang wajib atas dia.
Dan barang siapa menolak ta’at kepada imam maka berarti ia menolak hak yang wajib atas dia dan seterusnya. Bagi kalian dari hal yang disepakati ulama’bahwa sesungguhnya menolak taat didalam maksiat bukanlah pembangkangan akan tetapi suatu kewajiban atas setiap orang Islam, karena taat itu tidak wajib kecuali dalam kebaikan dan taat pada kemaksiatan tidak diperbolehkan.
البيان في فقه الامام الشافعي جز 12 ص 9 ط: دار الكتب العلمية
قال القفال وسواء كان الامام عادلا او جائرا فان الخارج عليهم باغ اذالإمام لاينعزل بالجور وسواء كان الخارج عليه عادلا او جائرا فان خروجه على الامام جور
Terjemah :
Imam Qaffal berkata : baik imam itu adil atau menyeleweng, maka membangkang kepadanya adalah bughat, karena imam tidak bisa terpecat sebab menyeleweng baik pihak pembangkang itu adil atau menyeleweng. Sebab membangkang kepada imam adalah perbuatan makar.
)6(. Sebagai konsekuensi Islam kaffah haruskah dilakukan jihad guna menangkal praktek kemungkaran oleh WNI non-muslim, seperti lokalisasi PSK, penjualan/ konsumsi minuman keras, budidaya hewan babi, arena hiburan yang penuh ma’shiyat, dan lain sebagainya ?
Jawaban:
Sebagai konsekwensi Islam kaffah dalam rangka menangkal praktek kemunkaran wajib dilakukan jihad dalam pengertian أمر معروف نهى منكر sesuai dengan tahapan-tahapannya, dan harus berupaya untuk tidak menimbulkan kemunkaran yang lebih besar atau fitnah.
المراجع:
أحكام القرأن لإبن العربي ج : 1 ص : 382 ، مانصه :
(وَلْتكُنْ مِنْكُم أمَّةٌ) دَليلٌ عَلى اَنَّ الأمْرَ بِالمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَن المُنكَرِ فَرْضٌ
Terjemah :
Firman Allah (artinya) : “Hendaklah diantara kalian terdapat ummat, yang mengajak kebaikan”. Ayat ini sebagai dasar perintah berbuat baik dan mencegah melakukan kemungkaran.

التشريع الجنائ الاسلامى جز 2 ص :677 , ف : الشيخ عبد القادر عودة , ط : مؤسسة الرسالة

ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى هو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان منشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام
Terjemah :
Sifat adil itu menjadi syarat untuk menjadi imam kecuali pendapat yang unggul, itu menurut empat Madzhab, dan menurut madzhab Syi’ah Zaidiyah. Haram keluar dari imam yang fasiq, lacut itu haram, walaupun adanya kelauar itu untuk perintah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Karena keluar dari imam bisa mendatangkan kebiasaan ingkar dari perkara tersebut. Dengan demikian terlarang mencegah kemungkaran. Karena yang disyaratkannya iru tidak akan mendatangkan keinkaran lain yang lebih darinya. Sampai menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, meratanya kerusakan, kacaunya negara, menyesatkan masyarakat, merapuhkan keamanan dan merusak tatanan.
بغية المسترشدين ، ص : 251، مانصه :
وَلَهُ دَرَجَتَانِ . التَعْرِيفُ ثُمَّ الوَعْظُ بِالكَلامِ اللَّطِيفِ ثُمَّ السَّبُّ وَالتَعْنِيفُ ثمَّ المَنْعُ بِالقَهْرِ ، وَالأوَّلانِ يَعُمَّانِ سَائِرَ المُسْلِمِينَ وَالأخِيرَانِ مَخْصُوصَانِ بِوُلاةِ الأمُورِ اهـ.
Terjemah :
Baginya dua tingkatan, diperingatkan, dinasehati dengan ucapan yang halus, dicaci maki dan kekerasan kemudian dicegah dengan paksa.
Sedangkan dua kewajiban yang pertama berlaku umum untuk semua orang Islam dan yang dua kewajiban yang akhir khusus bagi penguasa.