Assalamu'alaikum!! Selamat Datang di Situs Ahlussunnah Makassar www.almakassari.org

THIS-IS-FEATURED-POST-1-TITLE

FEATURED-POST-1-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-2-TITLE

FEATURED-POST-2-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-3-TITLE

FEATURED-POST-3-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-4-TITLE

FEATURED-POST-4-DESCRIPTION

THIS-IS-FEATURED-POST-5-TITLE

FEATURED-POST-5-DESCRIPTION

Kamis, 30 Juni 2011

Memaknai Kembali Peristiwa Isra' Mi'raj

Posted On 02.36 0 komentar


Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan yang dimuat dalam harian Tribun Timur (29/06/2011, hal. 2)

"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjid al Haram menuju masjid al Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kekuasaan) kami" (Al Isra' : 1)

Isra’ dan Mi’raj merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Salah satu mukjizat Nabi SAW yang terjadi tanggal 27 Rajab atas perintah Allah SWT. Dari masjid al Haram Rasulullah memulai perjalanannya (Isra') dengan melewati beberapa tempat bersejarah hingga akhirnya beliau sampai di masjid al Aqsha.
Setelah Isra', Rasulullah yang ditemani Malaikat Jibril melanjutkan perjalanannya menuju Sidrat al Muntaha. Perjalanan ini disebut dengan Mi'raj; perjalanan yang dimulai dari masjid al Aqsha hingga ke atas sidrat al Muntaha, ke atas langit ke tujuh. Dari sini Nabi menerima wahyu perintah shalat 5 waktu.
Adapun proses penerimaan wahyu tersebut adalah bahwa Nabi mendengar kalam Allah yang Dzati, bukan berupa huruf, suara dan bahasa sebab kalam-Nya azali (ada tanpa permulaan).

Dari sini perlu diperjelas bahwa tujuan dari Isra' dan Mi'raj bukanlah bahwa Allah ada di arah atas, lalu Nabi naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya. Hindarilah pemikiran seperti itu!.

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh seseorang berinisial ABF dalam tulisannya yang dimuat di harian ini 29 Juni 2011 (hal. 2) kemarin, disebutkan seperti dalam judul  sebagai berikut, ”Alamat Allah di Arasy”. Karena Allah ada tanpa tempat dan arah, dan tempat adalah makhluk sedangkan Allah tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya. Allah ta'ala berfirman : "Maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak membutuhkan) dari alam semesta". (Ali Imran : 97).
  
Menyatakan secara gamblang Allah ada di Arsy tanpa takwil berarti berkeyakinan Allah ada di suatu tempat. Apabila Allah berada di suatu tempat maka menyamakan Allah dengan makhluknya, sedangkan Allah tidak disifati dengan salah satu sifat makhluk-Nya seperti berada di tempat, arah atas, di bawah dan lain-lain. Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (As-Syura: 11). Ayat ini secara jelas dalam al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.

Alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir (jism) ini terbagi menjadi dua macam.

Pertama, Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

Kedua, Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya.

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Dalam hadits shahih pun disebutkan, Rasulullah SAW bersabda ” Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya” (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud).

Mungkin ada sebagian dari kita yang bertanya-tanya, bukankah keberadaan Allah SWT telah disebutkan dalam Al-Qur’an berada di Arsy? Ya dalam Surat Thaha: 5 disebutkan ”ar-Rahman ’ala al-Arsy istawa” yang mana kalau diartikan secara letterlejk dalam bahasa Indonesia (secara zahir) menjadi ”Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy”. Untuk mengartikan ayat tersebut diperlukan takwil karena merupakan ayat mutasyabihat.

Sebelum kami bahas apa itu mutasyabihat, terlebih dahulu harus diketahui bahwa di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Sebagaimana Allah berfirman: "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (QS. Al Imran : 7)

Pertama, Ayat-ayat Muhkamat: Ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya.

Kedua, Ayat-ayat Mutasyabihat: Ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Contohnya seperti firman Allah dalam Surat Thaha 5 tersebut.

Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya mengatakan bahwa makna "istawa" dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk. Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah.

Firman Allah dalam Surat Thaha 5 tersebut di atas tidak boleh dipahami bahwa Allah bertempat, duduk, atau bersemayam di atas arsy. Karena arsy adalah makhluk Allah, dan Allah mustahil membutuhkan kepada makhluk-Nya. Sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy, demikian pula setelah menciptakan arsy Dia ada tanpa arsy. Tetapi makna “Istawa” dalam ayat tersebut adalah “Yang Maha Menguasai”.

Kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah.

Apalagi kecenderungan ini dipengaruhi pula oleh media-media yang sering salah kaprah dalam berkomentar. Misalkan sering kita dapati kalimat ’Terserah pada Yang di Atas’. Ini adalah kalimat yang salah namun sudah terlanjur ’kaprah’ beredar di masyarakat. Hal semacam inilah yang seharusnya dihindari untuk menjaga kesucian aqidah kita agar tidak dikotori oleh pemahaman yang menyerupakan Allah sebagaimana makhluk-Nya.

Namun sayangnya orang lebih menyenangi hal yang instan. Ayat al-Qur’an dan hadits hanya mereka pahami secara zahirnya tanpa takwil. Mereka lebih percaya pada buku-buku terjemahan yang hanya secara letterlejk menampilkan terjemahannya.

Sekali lagi, keyakinan Ahlussunah adalah Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Bukankah arsy dan langit itu ciptaan Allah? Bila mereka berkeyakinan arsy dan langit itu ciptaan Allah maka berarti menurut mereka Allah berubah dari semula yang ada tanpa langit dan tanpa arsy menjadi bertempat pada kedua makhluk-Nya tersebut; lalu bukankah perubahan itu menunjukan kebaharuan?

Bukankah pula arsy dan langit itu memiliki bentuk dan ukuran? Lalu anda sendiri mengatakan bahwa Allah berada di dua tempat; arsy dan langit?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seharusnya bisa menyadarkan mereka. Memang mereka mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi untuk dijadikan dasar bagi keyakinan mereka, masalahnya ialah bahwa ayat-ayat tersebut tidak dipahami secara komprehensif, tidak dipahami secara kontekstual, dan bahkan pemahaman mereka jauh berseberangan dengan pemahaman para ulama terdahulu yang benar-benar kompeten dalam masalah tersebut.

Kembali kepada tema tulisan ini bahwa Tujuan dan hikmah yang sebenarnya dari Isra' dan Mi'raj adalah memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya beberapa keajaiban ciptaan Allah sesuai dengan firman Allah dalam surat al Isra': 1 di atas : "Agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran kami".

Maha Suci Allah SWT dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, yaitu menyerupai makhluk dan segala sifatnya.

(M. Luqman Firmansyah)


Rabu, 29 Juni 2011

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un, KH. Muhammad Nur Meninggal Dunia

Posted On 02.04 0 komentar



Innalillahi wa inna ilihi rajiun. Ulama kharismatik Sulsel, Anre Gutrutta KH Muhammad Nur (79), Rabu (29/6/2011) meninggal dunia di RS Islam Faisal, Makassar, sekitar oukul 11.45 wita.
Mantan Ketua Dewan Syura Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel dan pendiri/pemimpin Ma`had Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah Ujung Pandang, atau yang dikenal dengan Yayasan Penddidikan Taqwa ini, wafat setelah mendapat perawatan intensif selama dua pekan di RSI Faisal.
Kabar duka ini beredar di jejaring SMS NU Siaga Makassar, sekitar pukul 12.00 wita tadi.
Dia meninggal bersaman dengan peringatan hari raya besar islam, Isra Mikraj, atau perjalanan spiritual bersejarah Nabi Muhammad  ke Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah Salat.  
Jenazah almarhum mantan petinggi Universitas Ialam Makassar, saat masih bernama STIP Al Ghazali ini, disemayamkan di rumah duka di Jl Perintis Kemerdekaan Km 13, Makassar, atau terpat berada dibelakang Kantor Imigrasi Makassar.



Kemarin, ribuan pelayat datang ke rumah duka pria yang pernah mengajar di STIP Al Ghazali, Universitas Islam Makassar, dan Universitas Muslim Indonesia.Sejumlah cendikiawan muslim telah diajarnya.
Salah satunya adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Masyarakat (Bimas) Islam, Kementerian Agama RI Nazaruddin Umar.

Sementara itu Civitas akademika Universitas Muslim Indonesia (UMI) menggelar salat gaib untuk Dr (HC) KH Muhammad Nur, di Masjid Umar Bin Khatab, kampus II UMI, Jalan Urip Sumohardjo, Makassar, Kamis (30/6/2011).
Salat gaib ini dilakukan setelah salat Dhuhur yang kemudian dilanjutkan dengan zikir bersama.
Salat gaib ini diikuti oleh Ketua Yayasan Wakaf UMI Mokhtar Noer Jaya, Rektor UMI Prof Dr Masrurah Mokhtar MA, Pimpinan Pondok Pesantrean Darul Muhlisin UMI Padanglampe KH Zein Irwanto, para dekan fakultas, dan pengurus yayasan, dan ratusan civitas akademika UMI.

Almarhum yang digelari warga NU Sulsel Allamah Djalil,  lahir 7 Desember 1932 di Desa Langkean, Maros, Sulsel.
Almarhum menamatkan sekolah Volkschool 1941 kemudian memasuki pesantren di Bone. Selama tahun 1947-1958 berangkat ketanah suci mekkah untuk memperdalam ilmu agama islam langsung kesumber aslinya yang murni.
Tamat hafal Al qur`an pada Madrasah Uluumul Qur`an Mekkah tahun 1357 H.. Tamat pada Madrasah Fakhriyah Utsmaniyah tahun 1958 dan Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah hingga memperoleh gelar Asy-Syeik Fadhil dan mendapat sertifikat untuk mengajar di Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah Mekkah.


Biografi singkat KH. Muhammad Nur bisa anda simak di http://www.almakassari.org/2011/05/kh-muhammad-nur.html